Sebuah momentum terjadi pada Rabu, 13 Januari. Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menjadi calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Listyo Sigit Prabowo lahir di Ambon, Maluku, 5 Mei 1969. Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1991 ini sempat mandek kariernya saat berpangkat ajun komisaris besar. Dari 2006 sampai 2009 ia banyak bertugas di Markas Besar Kepolisian RI dan Polda Metro Jaya.
Kepercayaan pimpinan Polri membawanya pada amanah sebagai Kepala Polres Pati sejak Oktober 2009, lalu Wakil Kepala Polres Kota Semarang pada 2010. Selama bertugas di Pati dan Semarang, Sigit mulai berkenalan dengan para kiai. Salah satunya mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Penasihat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal Mahfudz yang punya pondok pesantren di Pati.
Sigit kemudian menerima kenaikan pangkat menjadi komisaris besar ketika menjabat Kepala Polres Surakarta pada April 2011. Di sanalah Sigit pertama kali mengenal Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Walikota Surakarta.
Kini Listyo tinggal selangkah lagi memegang tongkat komando Trunojoyo 1. Listyo mengedepankan ide restorative restoratif yang memandang kejahatan lebih dari sekadar melanggar hukum – ia juga menyebabkan kerugian bagi orang, hubungan, dan komunitas. Jadi, respon yang adil harus mampu mengatasi kerugian tersebut serta kesalahannya. Rasa keadilan terkadang tak mampu dipenuhi oleh penegakan hukum yang hanya mengandalkan kepastian hukum.
Salah satu gagasan yang diungkapkan Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test sebagai calon Kapolri adalah menjadikan polsek yang lebih dekat dengan restorative justice. Para polisi di layanan terdepan ini tak lagi banyak dibebani dengan tugas penyidikan kasus. Pendekatan preemptif dan preventif lebih diutamakan.
Banyak kasus pidana yang bisa diselesaikan dengan kesepakatan para pihak. Misalnya kasus pencurian kakao yang dilakukan seorang nenek. Jika para pihak bersedia, cara terbaik untuk melakukan ini adalah dengan membantu mereka bertemu untuk membahas kerugian tersebut dan bagaimana cara membuat resolusi. Pendekatan lain tersedia jika mereka tidak dapat atau tidak mau bertemu. Terkadang pertemuan itu membawa perubahan transformasional dalam hidup mereka.
Ada tiga gagasan besar terkait restorative justice. (1) perbaikan: kejahatan menyebabkan kerugian dan keadilan membutuhkan perbaikan kerusakan itu; (2) pertemuan: cara terbaik untuk menentukan bagaimana melakukannya adalah meminta para pihak memutuskan bersama; dan (3) transformasi: hal ini dapat menyebabkan perubahan mendasar pada orang, hubungan dan komunitas.
Para polisi yang bertugas di lingkungan polsek perlu memahami bahwa Restorative Justice adalah teori keadilan yang menekankan pada perbaikan kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal. Paling baik dicapai melalui proses kerja sama yang memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk bertemu, meskipun pendekatan lain tersedia jika hal itu tidak memungkinkan. Ini dapat mengarah pada transformasi orang, hubungan, dan komunitas.
Para pemangku kepentingan dalam penegakan hukum harus memahami prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif. Kejahatan menyebabkan kerugian dan keadilan harus fokus pada perbaikan kerusakan itu. Dan orang-orang yang paling terpengaruh oleh kejahatan tersebut harus dapat berpartisipasi dalam penyelesaiannya. Yang tak kalah penting adalah tanggung jawab pemerintah adalah menjaga ketertiban dan membangun perdamaian masyarakat.
Jika keadilan restoratif adalah sebuah bangunan, ia akan memiliki empat tiang sudut yakni sisi inklusif atau menyentuh semua pihak, menghadapi sisi lain, sisi menebus kerugiannya, dan sisi eintegrasi para pihak ke dalam komunitas mereka.
Cara mengimplemetasikan keadilian restoratif setidaknya bersendikan pada 5 (lima) aspek.
Pertama, adalah cara berpikir yang berbeda tentang kejahatan dan tanggapan kita terhadap kejahatan. Kejahatan terjadi tidak di ruang hampa. Ada kondisi sosiologis yang melatarbelakanginya. Komunitas dimana kejahatan itu terjadi akan terlibat dalam upaya bersama menanganinya. Misalnya pada kasus pencurian oleh seorang nenek yang membutuhkan makan, perlu dikaji apakah masyarakat selama ini sudah memperhatikan dan menyantuninya. Sehingga secara bersama-sama diharapkan ada solusi agar tidak terjadi lagi pidana semacam ini di kemudian hari.
Kedua, berfokus pada perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh kejahatan dan mengurangi kerugian di masa depan melalui pencegahan kejahatan. Dalam banyak kasus kerugian yang ditimbulkan dapat diselesaikan bersama. Dan yang terpenting adalah mempersempit kemungkinan terjadinya kejahatan atau pidana secara bersama. Masyarakat tidak bisa menutup mata bahwa dalam banyak hal ‘ikut berkontribusi atas sebuah kasus’ meski tidak secara langsung.
Ketiga, menuntut pelanggar untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan atas kerugian yang mereka timbulkan. Tentu tergantung pada kasusnya. Jika memang karena lapar dan tak ada yang dimakan, mungkin saja orang yang dirugikan merelakan agar si pelanggar tak harus mengembalikan barang yang sudah diambil bahkan mungkin telah dimakan.
Keempat, mencari ganti rugi bagi para korban, ganti rugi oleh pelanggar dan reintegrasi keduanya di dalam komunitas. Baik secara materiil maupun immateriil para korban wajar saja mendapatkan kompensasi. Ini bukan berarti memberi keabsahan bagi pelanggar hukum.
Kelima, membutuhkan upaya kerjasama oleh masyarakat dan pemerintah. Kerjasama ini diperlukan agar masing-masing mengoptimalkan perannya dalam mewujudkan keadilan restoratif. Baik dalam mempertemukan para pihak, pencegahan, maupun menutup kerugian korban.
Jika keadilan restoratif ini mampu diwujudkan dalam upaya hukum di tingkat polsek maka apa yang diimpikan Komjen Sigit bahwa polisi akan tampil dalam wajahnya yang humanis sangat mungkin akan terwujud. Penegakan hukum akan lebih mengarah pada keadilan hukum dan tak mengejar kepastian hukum semata.