“ Ayah nggak akan membiayai kamu kalau kamu tidak bisa masuk jurusan IPA! Titik!”
Kalimat semacam itu bisa jadi dianggap wajar saja terlontar dalam keseharian kita. Keputusan dalam keluarga menyangkut sebuah pilihan penting seringkali menimbulkan masalah. Bahkan konflik. Misalnya saat anak memutuskan mengambil jurusan IPS sementara ortunya berharap ia masuk jurusan IPA. Tak jarang ortu memaksakan kehendak hingga melontarkan ancaman tak membiayai atau memberi uang saku kebutuhan anak jika keras kepala memilih jurusan yang menjadi passion-nya.
Hak Azasi adalah hak paling mendasar. Menyertai kita sejak lahir. Termasuk diantaranya adalah hak untuk hidup, hak memilih dan menjalankan keyakinan agama, dan hak politik atau menentukan pendapat. Setiap diri sejak dini dari lingkup[ terkecil sangat penting memahami hak yang melakat pada dirinya. Sehingga sebagai manusia ia bisa tegak berdiri di atas kehormatan dan kedaulatannya.
Menjadi penting untuk memahami dan memperjuangkan hak. Tentu sepadan dengan kesungguhan dalam menggenapi kewajiban sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan warga negara. Bukan dalam pengertian serba menuntut terhadap pihak lain tanpa dasar dan alasan. Namun sadar dan berani membela hak-haknya bahkan hak orang lain agar tak direnggut oleh sistem atau orang lain yang tak berhak.
Apalagi menyangkut sesuatu yang azasi. Azas adalah prinsip. Mengikat kesadaran kita sebagai individu di tengah masyarakat. Jika kita tak punya kesadaran dan keberanian membela sesuatu yang bersifat prinsipil maka goyahlah relasi antara kita dengan masyarakat dan negara. Karena dalam azas-azas itulah terkandung moralitas kemanusiaan dan kehidupan. Yang paling pokok dari yang azasi itu adalah HAM.
Isu HAM lebih banyak diperbincangkan dalam narasi besar. Misalkan soal Papua, penggusuran paksa atas nama pembangunan, LGBT, atau terhambatnya pembangunan sebuah tempat ibadah. Di lain sisi tak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai universal itu banyak terlanggar dan tak tertanam sejak dini dalam relasi dengan orang-orang terdekat. Keluarga adalah unit terkecil dalam sistem sosial. Dan dari lingkup ini HAM harus ditanamkan dan dipraktikkan bersama. Jika dalam sebuah keluarga HAM terabaikan maka bisa dibayangkan seperti apa cara pandang dan sikap anggota keluarga tersebut dalam memandang HAM saat berada di tengah-tengah masyarakat.
Dalam masyarakat kita kewajiban ortu dalam mengarahkan anaknya menjadi salah satu norma yang melekat kuat. Atas dasar itulah maka banyak keputusan diambil tanpa mengindahkan hak anak. HAM dipandang identik dengan kebebasan. Dan anak belum saatnya mengambil keputusan penting. Apalagi masih bergantung pada ortu secara ekonomi.
“Bebas malah bisa bikin bablas” Begitulah pembenaran atas lazimnya penggunaan otoritas. Maka keluarga membuat sekat dan batas agar semua aman dan terkendali. Bahkan dalam soal jodoh sang anak bisa bernasib naas. Siti Nurbaya milenial harus tunduk pada keputusan ala abad ke-19. Meski tak dapat dipungkiri seiring waktu berlalu banyak juga yang bisa membangu keluarga baru dalam damai dan berakhir bahagia.
Dalam keluarga banyak diskriminasi masih terjadi dan terlembagakan. Padahal pada Pasal 28 I angka 2 ditetapkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminatif itu.
Asa Don Brown mengatakan “All children should be taught to unconditionally accept, approve, admire, appreciate, forgive, trust, and ultimately, love their own person (Semua anak harus diajar untuk menerima tanpa syarat, menyetujui, mengagumi, menghargai, memaafkan, mempercayai, dan pada akhirnya, mencintai diri mereka sendiri)”.
Soal HAM ini terang disebut dalam konstitusi kita. Negara harus hadir membelanya. Demikian juga segenap warga negara. Disebutkan pula dalam pada Pasal 28 I angka 4 UUD 1945 bahwa negara terutama Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Tak terkecuali termasuk hak anak-anak dalam sebuah keluarga. Bahkan setiap keluarga semestinya menanamkan prinsip-prinsip HAM dalam kesadaran maupun tindakan.
Salah satu agenda pentingnya, jika kita berkomitmen menghargai HAM maka kita harus menghilangkan diskriminasi dalam keluarga. Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, dan seterusnya.
HAM tak bisa difahami instan. Misalkan dalam soal diskriminasi. Anggota keluarga harus belajar mengidentifikasi apakah ada ucapan, pikiran dan tindakannya yang membatasi, melecehkan, atau mengecualikan orang lain termasuk sesama anggota keluarga tersebut. Apa yang dianggap lumrah belum tentu benar bahkan mungkin sangat mencederai keadilan.
Dalam pendidikan HAM di lingkungan keluarga yang terpenting adalah praktik. Sehingga cara pandang akan mewujud dalam sikap. Menjadi bagian dari akhlak yang terpuji. Spontan dalam menghargai hak azasi. Jika dalam pikiran dan ucapan saja terjaga apalagi dalam tindakan. Anggota keluarga akan terdidik untuk tidak mencederai pihak lain.
Agenda pendidikan HAM dalam keluarga bukanlah beban baru atau beban tambahan. Justru muatan HAM akan menjadi alat utama dalam sistem pembentukan karakter sekaligus suasana yang penuh harmoni. Hingga orangtua tak akan memaksakan kehendak dalam mengarahkan anaknya. Anak-anak akan menghargai orang tua dan saudara-saudarinya. Semua anggota keluarga menyadari bahwa setiap individu dikaruniai kemerdekaan dan kebebasan. Dan hal itu tak mengurangi sedikitpun porsi untuk peduli dan tanggung jawab.
Dari keluarga-keluarga yang memberi tempat terbangunnya nilai-nilai HAM kita berharap terbangun negara yang mampu menegakkan prinsip-prinsip HAM. Juga anak-anak bangsa yang menghargai HAM. Pejabat dan rakyatnya, ASN dan pegiat LSM-nya, bahkan yang jadi tentara, polisi, jaksa, hakim pun akan memahami HAM sampai tulang sumsumnya. Tidak berhenti dalam paradigma tapi terwujud dalam praktik.