Oleh : Muhammad Muchlas Rowi
USAI dilantik sebagai presiden untuk kedua kalinya pada 20 Oktober 2019 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraannya sempat berharap agar Indonesia memiliki omnibus law yang dapat merevisi banyak undang-undang sekaligus.
Harapannya ketika itu, segala bentuk kendala regulasi dapat disederhanakan. Tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan bisa diamputasi. Caranya, pemerintah akan mengajak DPR untuk menyusun omnibus law, UU sapu jagat yang merevisi banyak UU.
Tanggal 20 April 2020, omnibus law mulai dibahas oleh Badan Legislasi DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja. Pembahasan ini memakan waktu hingga 7 bulan dan selesai pada 3 Oktober 2020. Setidaknya ada 56 kali Rapat Panja, 6 kali Rapat Tim Mus/Tim Sin dan 1 kali Rapat Kerja. Sangat cepat!
Meski sangat cepat dan kini UU itu telah lahir, namun bukan berarti tak ada polemik dan penentangan. RUU Cipta Kerja sempat memicu sederetan aksi demonstrasi di Depan Gedung DPR. Beberapa serikat buruh mengklaim telah menemukan sejumlah poin di dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang berpotensi mengancam hak-hak mereka.
Puncaknya, dua hari terakhir ini, demo besar dari pihak yang menyebut dirinya ‘buruh dan mahasiswa’ telah mewarnai sejumlah titik di Ibukota maupun beberapa daerah di Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan berakhir dengan rusuh.
PR pun bertambah, tidak saja hanya soal menyelesaikan persoalan covid-19 dan menarik investasi di tengah ancaman resesi, tapi juga soal ketertiban dan keamanan. Dua hal yang sejatinya juga menjadi faktor yang akan membuat para investor menjadi wait and see.
Spirit Utama Omnibus Law
Dalam kondisi seperti ini, maka semua pihak sebaiknya menahan diri, dan kembali merenungkan spirit utama lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini; yaitu kompromi atas konflik antar kepentingan sektoral. Dengan adanya kompromi yang dituangkan dalam aturan hukum berupa omnibus law maka ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih regulasi semestinya berakhir. Seperti itu!
Artinya, omnibus law bukan sekadar sebagai upaya menghadirkan kompromi akibat adanya tumpang tindih regulasi semata, tapi juga berupa penyelesaian konflik dari tujuan pembentukan peraturan perundangan sendiri. Makanya jangan sampai ada tujuan berbeda misalnya antara menarik investor semata dengan pentingnya kesejahteraan pekerja. Keduanya harus dicari titik temunya.
Baik pemerintah, DPR, pengusaha, pekerja, atau bahkan mahasiswa harus satu kesepahaman tentang konsep omnibus law yang pertama kali disampaikan oleh Menko Perekonomian pada rapat terbatas terkait investasi pada 28 Maret 2018. Bahwa konteksnya peningkatan daya saing dan investasi, tentu saja turunannya juga kesejahteraan pekerja. Omnibus law dengan tujuan cipta lapangan kerja dan UMKM, harus dipandang sebagai bagian dari perlindungan pemerintah pada seluruh warga negara.
Harapannya, investasi yang ada dapat menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dengan ketentuan ketenagakerjaan yang ramah investasi, serta ada hubungan mutualisme antara investor dengan pengusaha UMKM. Pemerintah berani membidani omnibus law terkait cipta lapangan kerja dan UMKM karena ingin menempatkan tujuan untuk meningkatkan arus investasi.
Jika merujuk pada Pasal 33 UUD 1945, investasi harus dapat bermanfaat bagi seluruh rakyat seperti peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Artinya, tujuan besar dari pembentukan omnibus law mustinya adalah untuk menambah daya saing investasi di Indonesia sekaligus meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, titik.
Aspek GCG
Ada cara lain yang dapat dilakukan agar kita sama-sama paham soal konteks omnibus law ini, yaitu menempatkannya dalam konteks penerapan Good Corporate Governance (GCG) di sektor bisnis. Karena di dalam GCG ada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menyetarakan para stakeholder menjadi satu kesatuan, saling terikat dan memberi dukungan.
Meletakan UU Cipta Kerja dalam konteks penerapan GCG juga memungkinkan tidak ada laginya istilah buruh dan majikan, semua pihak disebut sebagai stakeholder, dan harus dihormati melalui prinsip-prinsip GCG.
Ingat, semua stakeholder dalam sebuah perusahaan wajib mematuhi kode etik dan teta kerja perusahaan. Kulminasinya, penggunaan istilah buruh akan hilang, berganti menjadi karyawan atau pekerja. Lainnya adalah ada pimpinan, pemilik, dan pelanggan.
Kesepahaman inilah yang sejatinya lebih kuat, dan akan lebih efektif baik untuk mendorong investasi maupun meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Bahwa semua pihak di dalam sebuah perusahaan memiliki peran dan posisi yang saling menghormati dan saling menguntungkan.
Itu bagi yang belum mau beralih dari zona nyamannya sebagai pekerja. Dalam konteks pengembangan UMKM, baik omnibus law maupun prinsip GCG sejatinya menjanjikan investasi dan peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi.
Ada banyak hasil penelitian yang menyebut kuatnya hubungan antara tata kelola perusahaan yang lebih baik dan arus investasi yang lebih dapat diprediksi, dan daya saing jangka panjang industri.
GCG merupakan prasyarat untuk integritas dan kredibilitas lembaga pasar. Dengan membangun kepercayaan dan tata kelola yang baik memungkinkan perusahaan memiliki akses ke keuangan eksternal dan membuat komitmen yang dapat diandalkan kepada kreditor, karyawan, dan pemegang saham.
Jelasnya, pentingnya GCG jauh melampaui kepentingan pemegang saham di setiap perusahaan. Prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas GCG adalah landasan sistem pasar. Hal ini menggarisbawahi kepentingan publik dan politik yang meluas dalam memperkuat praktik GCG.
Hari ini, kita memang menemukan adanya keinginan investor agar aturan ketenagakerjaan yang pro investor sebagai insentif dalam meningkatkan daya saing. Sebaliknya ada kepentingan pekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sebelum omnibus law lahir, tentu potensi konflik kepentingan antar sektor tersebut sudah diketahui. Karena itu, omnibus law mestinya memiliki spirit kuat untuk menyelesaikan konflik dan melakukan kompromi. Kuncinya, kepala musti tetap dingin, kompromikan kepentingan-kepentingan tersebut dengan cara-cara yang persuasif dan dialogis, bukan anarkis.