Tengah malam (11/09/2023) sekira pukul 01.00 WIB saya baru keluar dari parkiran sebuah rumah sakit. Tidak lebih dari 200 meter mobil saya kendarai nampak seorang pria bermotor memotong jalan. Dia terlihat sangat tergesa-gesa. Di sisi jalan sudah menunggu pria lain bercelana pendek, mereka bercakap sejenak dan masing-masing segera pergi memacu sepeda motornya.
Sekilas pemandangan itu biasa saja. Namun naluri kita segera menangkap curiga. Sangat mungkin peristiwa itu adalah satu dari sekian banyak transaksi narkoba yang terjadi di sekeliling kita. Sesekali saya juga memergoki operasi penangkapan terduga bandar narkoba. Di gang-gang sempit saat mengantar atau menjemput anak sekolah. Khalayak di sekitar TKP segera mafhum. Kalau ada kejar-kejaran dan penggerebekan di jalanan sebagian besar kasusnya narkoba.
Kita tahu namun abai bahwa narkoba semakin merajalela. Para bandar bagai patah tumbuh hilang berganti. Apalagi pecandu atau ‘pasien’ baru bertambah berlipat ganda. Tidak hanya di kota-kota besar. Di kota-kota kecil pun narkoba sudah seperti kacang goreng. Pasokan seperti tidak ada habis-habisnya.
Lalu, pekan ini kita dengar sebuah tangkapan besar diumumkan Polri. Bareskrim Polri berhasil membongkar sindikat narkoba dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dipimpin oleh Fredy Pratama (38). Dalam operasi yang diberi nama sandi “Operasi Escobar”, polisi berhasil menyita 10 ton sabu dan aset senilai Rp10,5 triliun.
Polisi berhasil menangkap 39 orang yang terlibat dalam sindikat ini, termasuk Fredy Pratama, yang merupakan otak dari sindikat tersebut. Fredy Budiman sudah dihukum mati muncul pula Fredy Pratama. Dan di luar sana ada ribuan kaki-tangan mereka. Termasuk mereka yang menghuni lapas dan masih dapat mengendalikan operasi di dalam dan luar bui.
Sindikat Fredy Pratama telah beroperasi sejak tahun 2020. Mereka menyelundupkan sabu dari Malaysia melalui jalur laut. Sabu tersebut kemudian diedarkan di wilayah Indonesia.
Selain sabu, polisi juga berhasil menyita aset milik sindikat ini, termasuk rumah mewah, apartemen, mobil mewah, dan rekening bank. Ini yang membuat narkoba tetap menjadi bisnis idaman bagi para kriminal. Bayangka saja dalam tiga tahun Fredy Pratama sudah berhasil menghimpun triliunan aset. Itu yang ketahuan.
Fredy Pratama adalah seorang tersangka dalam kasus jaringan narkoba di Indonesia.
Fredy Pratama juga disebut sebagai mastermind atau bos dari jaringan narkoba tersebut . Ia memiliki beberapa nama samaran , seperti Miming. Fredy Pratama juga disebut sebagai bos kartel narkotika terbesar di wilayah Asia Tenggara. Fredy Pratama merupakan bandar narkoba kelas kakap yang telah lama menjadi target Polri.
Tidak terbayangkan saat anak-anak muda potensial menjadi korban narkoba. Di Amerika Serikat narkoba dianggap victimless crime. Kejahatan tanpa korban. Sang pecandu tidak boleh menganggap dirinya korban karena ia kecanduan atas pilihannya sendiri. Ia pelaku dari kejahatan yang menghancurkan dirinya.
Tentu tantangan ke depan bagi Polri dan BNN tidak kecil. Namun tangkapan besar ini menjadi salah satu alarm bagi publik untuk menjaga diri, keluarga dan orang-orang terdekat di sekelilingnya agar tidak hancur karena narkoba. Kita sedang berada di persimpangan jalan. Jika salah arah kita akan gagal memetik bonus demografi.