Menjelang maghrib 27 September 2023 lalu lintas Jakarta sedang macet-macetnya. Dari Marunda Jakarta Utara saya harus menempuh 2 jam perjalanan hanya untuk mencapai sebuah hotel di kawasan Kemayoran Jakarta Pusat.
Melelahkan. Seperti perjalanan liburan ke luar kota.
Tahun depan Jakarta akan kehilangan sedikit bebannya. Ibukota akan pindah ke IKN di Kalimantan. Namun kemacetan, polusi, dan segala dampak perubahan iklim akan mendera kota yang sudah berusia ratusan tahun ini.
Sejarah Jakarta tidak dapat dilepaskan dari Sunda Kelapa. Berabad lamanya menjadi nadi kehidupan rakyat Pajajaran. Sunda Kelapa adalah muara Kali Ciliwung. Pelabuhan tempat transaksi dagang dan interaksi budaya antara kerajaan Hindu itu dengan peradaban Nusantara bahkan dunia. Pos dagang Portugis berdiri di sana hingga 1527 kala Fatahillah mengambil alih dan mendirikan Jayakarta.
Hampir genap seratus tahun kemudian pada 1619 para kapitalis yang tergabung dalam Serikat Dagang Hindia Timur datang dari Belanda. VOC namanya. Kumpeni kita menyebutnya. Mereka menamai Jayakarta sebagai Batavia. Mengambil nama salah satu kota di negeri Belanda. Lidah Melayu menyebutnya Betawi.
Batavia dirancang lebih sebagai Kota Dagang oleh Belanda. Istana Gubernur Jenderal pun dibangun di Batavia dan Bogor. Lihatlah Istana Bogor. Surga tropis di tengah kota.
Hampir 300 tahun lamanya Batavia menjadi kebanggaan Hindia Belanda. Sampai revolusi 1945 menjadikan Jakarta ibukota de facto. Dan setelah penyerahan kedaulatan 1949 Jakarta pun menjadi pusat aktivitas Pemerintahan Republik Indonesia. Keberadaan Jakarta sebagai ibukota dikukuhkan melalui UU No 10 tahun 1964.
Jika dihitung sejak namanya masih Batavia, Jakarta telah menanggung beban hampir 400 tahun menjadi pusat pemerintahan. Sungguh waktu yang tidak sebentar mengingat Jakarta juga menjadi pusat bisnis. Sebagian besar uang beredar di kota ini sekian lama. Urbanisasi pun tak terelakkan lagi.
Ada gula ada semut. Jakarta menjadi tempat perantau mengadu peruntungannya. Hingga kota ini dihuni sekira 10 juta jiwa.
Lalu perubahan iklim pun datang. Jakarta yang permukaan tanahnya terus menurun didera ancaman baru. Banjir, macet, dan polusi diantaranya. Tak tertanggungkan lagi jika kawasan di sepanjang pantai Teluk Jakarta tenggelam seiring naiknya permukaan air laut.
Kini Jakarta sudah menjadi kota yang maju sekaligus padat tak terkira. Di satu sisi MRT, LRT, dan jalan tol membelah Jakarta. Di sisi lain jutaan rakyatnya harus berjuang melawan berbagai ancaman dan ketidaknyamanan.
Maka ketika ibukota pindah Jakarta jangan sampai merana. Jakarta harus menemukan peran barunya. Semangat yang sksn menjadikan Jakarta seperti Istanbul di Turkiye. Atau Rio de Janeiro dan Sao Paolo di Brazil. Bahkan jika bisa seperti Sidney di Australia atau New York di Amerika Serikat.
Semoga saja.