Ini tahun politik. Kanal-kanal media massa dan media daring dipenuhi perbincangan politik. Sarapan pagi ditemani obrolan politik. Makan siang menjamu sekutu politik. Makan malam negosiasi dengan lawan politik yang bisa saja digaet menjadi kawan aliansi. Pada situasi semacam ini kita melihat betapa jejaring politik yang dimiliki para politisi sangat berperan dalam dinamika politik.
Kita sudah sama-sama mafhum bahwa Indonesia adalah negara dengan lanskap politik yang dinamis dan beragam, di mana berbagai partai, kelompok, dan individu bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Lanskap yang dibingkai dalam sistem kombinasi presidensial multi-partai. Sebuah pilihan yang sering memunculkan fenomena ganjil dan unik.
Coba kita ingat kembali catatan perjalanan demokrasi di negeri ini. Indonesia telah mengalami transisi yang luar biasa dari pemerintahan otoriter ke demokrasi sejak jatuhnya Suharto pada tahun 1998, dan telah mengadakan beberapa pemilihan umum yang bebas dan adil di tingkat nasional dan lokal. Tidak kurang dari dua dekade kita menikmati era reformasi. Namun, kualitas demokrasi di Indonesia masih ditantang oleh berbagai masalah, seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, intoleransi agama, dan dominasi pengusaan kaum elit.
Salah satu fitur utama politik Indonesia adalah peran jaringan politik, yang merupakan koneksi informal dan pribadi di antara politisi, birokrat, pengusaha, pemimpin agama, aktivis masyarakat sipil, dan tokoh berpengaruh lainnya. Dalam ekosistem inilah muncul kritik atas pengaruh kuat oligarki yang membungkus jaringan pengusaha dan politisi. Apalagi banyak pengusaha yang masuk dunia politik.
Bagaimanapun jaringan politik dapat memfasilitasi kerja sama, koordinasi, dan komunikasi di antara para aktor dengan kepentingan dan tujuan bersama, tetapi mereka juga dapat menciptakan patronase, nepotisme, dan kolusi yang merusak akuntabilitas dan transparansi demokrasi. Inilah yang kita tidak inginkan. Ekses atau dampak negatifnya.
Jaringan politik di Indonesia dibentuk oleh berbagai faktor, seperti ideologi, agama, etnis, wilayah, kelas, gender, dan generasi. Beberapa jaringan ini didasarkan pada ikatan sejarah lama atau afinitas budaya, sementara yang lain lebih cair dan pragmatis.
Beberapa jaringan ini beroperasi di dalam lembaga formal, seperti partai politik atau parlemen, sementara yang lain beroperasi di luar atau di seberang mereka. Beberapa jaringan ini lebih terbuka dan inklusif, sementara yang lain lebih tertutup dan eksklusif.
Dinamika jaringan politik di Indonesia telah berubah dari waktu ke waktu, terutama setelah reformasi desentralisasi yang dimulai pada tahun 1999. Desentralisasi memberikan lebih banyak otonomi dan sumber daya kepada pemerintah daerah dan meningkatkan peluang bagi aktor lokal untuk berpartisipasi dalam politik.
Akibatnya, jaringan politik baru muncul atau menguat di tingkat subnasional, sementara beberapa jaringan tingkat nasional melemah atau terfragmentasi. Desentralisasi juga menciptakan lebih banyak keragaman dan kompleksitas dalam lanskap politik, karena berbagai daerah mengembangkan pola pemerintahan dan pembangunan yang berbeda.
Kinerja desentralisasi di Indonesia beragam. Di satu sisi, desentralisasi telah meningkatkan pemberian layanan publik, pembangunan daerah, dan partisipasi warga di beberapa daerah. Di sisi lain, desentralisasi juga telah meningkatkan korupsi, ketimpangan, konflik, dan degradasi lingkungan di daerah lain.
Variasi dalam hasil desentralisasi sangat tergantung pada kualitas dan akuntabilitas jaringan politik lokal, yang dapat memungkinkan atau membatasi demokrasi lokal. Banyak daerah yang akan semakin tertinggal jika jaringan politik lokalnya menelikung konsolidasi demokrasi.
Masa depan politik Indonesia akan tergantung pada bagaimana jaringan politik berkembang dan berinteraksi dalam menanggapi perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Tantangan yang dihadapi Indonesia termasuk mengatasi ketidaksetaraan gender dan keterwakilan perempuan, mengatasi masalah lingkungan dan bencana alam, serta menavigasi dinamika regional dan global.
Tantangan-tantangan ini membutuhkan kepemimpinan yang efektif dan responsif dari aktor-aktor politik di semua tingkatan, serta partisipasi aktif dan terinformasi dari warga negara. Jaringan politik dapat menjadi sumber kekuatan atau kelemahan bagi demokrasi Indonesia.
Maka, tulisan ini hendak mengajak kita mengambil sikap. Memilih anggota DPR dan Presiden bukan perkara remeh. Pilihan itu yang akan menentukan seberapa lurus demokrasi kita mampu mengemban amanah konstitusi.