Connect with us

Hi, what are you looking for?

Perspektif

Kebangkitan Berita Bohong

Ilustrasi foto

Bangsa Amerika yang selama ini jadi kiblat kebudayaan rasional, justru pernah jadi pihak yang terdepan dalam mengimani berita bohong [hoax].

Semua bangsa punya sejarah kelam, termasuk negara super power Amerika Serikat. Tentu ada sederet peristiwa kelam yang pernah mereka lalui, salah satu yang terkelam mungkin adalah peristiwa kemenangan Donald Trump di pemilu presiden Amerika Serikat, 2016.

Meski Trump maupun Hillary ketika itu juga sama-sama memiliki sisi gelap, namun kemenangan tersebut membuktikan, siapa pun bisa menjadi korban berita palsu. Bangsa Amerika yang selama ini jadi kiblat kebudayaan rasional, justru terdepan dalam mengimani berita bohong [hoax].

Kemenangan Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat tentu sangat mengejutkan warga dunia. Bagaimana tidak, selama berbulan-bulan masa kampanye, hampir semua lembaga survei menunjukkan Hillary unggul. Tapi perhitungan pemilu AS membuktikan, Trump lah pemenangnya.

Celakanya, kesuksesan Trump ini malah menginspirasi banyak politisi busuk lainnya untuk memenangkan kontestasi politik dengan teknik baru yang mampu mengepul jutaan suara. Mereka membuat fakta menjadi prioritas terakhir sebagai pertimbangan bagi para pemilik hak suara.

Sebut saja Marie Le Pen. Politisi asal Perancis yang sempat terinspirasi oleh kemenangan Trump dan berusaha mengkapitalisasi sentimen anti islam untuk mengalahkan seterunya Emmanuel Macron. Meski Le Pen kalah, namun bersama Trump ia ikut mendorong ‘kebangkitan berita bohong’.

Pemilu presiden Filipina tahun 2022 lalu juga menunjukkan, bagaimana berita bohong menjadi arus utama di tengah bergulirnya kontestasi politik yang melibatkan pertarungan Ferdinan ‘Bongbong’ Marcos Jr dengan Leni Robredo.

Bongbong Marcos memang selalu membantah jika dirinya menggunakan buzzer untuk menciptakan citra baru keluarganya dengan membanjiri berita-berita palsu di lini media sosial. Namun faktanya, Marcos Jr memang diuntungkan dengan beredarnya berita-berita palsu di masa kampanya pemilu presiden di awal 2022 lalu.

Hoaks adalah informasi palsu atau tidak benar yang disebarkan dengan maksud menyesatkan atau memanupulasi orang lain. Hoaks bisa berbahaya karena berpotensi membentuk opini publik. Tak hanya pandangan, tapi juga keyakinan orang terhadap sebuah isu atau bahkan terhadap seseorang. Jika informasinya keliru, hoaks bahkan bisa merusak nama baik seseorang.

Hoaks juga bisa memicu ketegangan sosial. Terutama yang bersifat provokatif. Secara secara cepat bisa merusak stabilitas sosial dan politik. Hoaks bisa juga mengganggu keputusan pemilihan. 

Jadi, gara-gara hoaks, pemimpin macam apa pun bisa terpilih. Termasuk di disini, di negeri kita Indonesia.

Apalagi jika menilik data tahun 2019, dimana lebih dari 501 hoaks beredar menjelang pemilihan umum. Tren ini tidak hanya merusak kebenaran, tetapi juga mempengaruhi kesehatan demokrasi kita. Karena Ketika hoaks menyebar, polarisasi masyarakat meningkat, kepercayaan pada penyelenggara pemilu menurun, dan potensi kekerasan politik muncul.

Jika melihat data 2019 tersebut, maka puncak kampanye hitam maupun hoaks ini diprediksi terjadi pada februari 2024.  Celakanya, kampanye hitam, hoaks dan kurangnya gagasan dari peserta pemilu membuat banyak pemilih memilih untuk golput.

Terlalu seringnya pemilu dan pemilihan kepala daerah membuat pemilih jenuh. Fungsi partai dalam pendidikan politik terganggu, dan pemilih kehilangan minat dalam proses demokrasi. Padahal, golput jelas bukan solusi.

Untuk mengatasi hoaks, kita perlu melakukan media monitoring dan menyebarkan informasi pemilu yang benar secara masif. 

Kita perlu bekerja sama dengan pihak terkait, seperti Kemenkominfo, platform media sosial, media, dan konten kreator. Pembentukan gugus tugas pengawasan kampanye bersama KPI, KPU, dan Dewan Pers juga diperlukan.

Karena para penebar berita palsu selalu mencari momentum, sisi atau isu mana yang harus dieksploitasi untuk memuluskan tujuannya. Kemenangan Trump di Pemilu 2016 adalah karena keberhasilannya membacara keresahan warga soal kecenderungan globalisasi.

Dengan bantuan big data dan teknologi Ai kita bahkan bisa dengan cepat membaca kecenderungan tersebut. Melakukan tracking siapa saja yang pertama menyebarkan berita palsu, menarik data, lalu menganalisanya agar kita bisa segera melakukan kontra narasi.

Jika kita mau dan bekerja sama, apa yang dibangkitkan Trump bersama para politisi busuk lain yang muncul setelahnya bisa kita kubur kembali. Sehingga bersama-sama juga kita bisa katakan, selamat tinggal berita palsu!

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Perspektif

India, melalui Kebijakan Pendidikan Nasional 2020, tampak lebih progresif dalam memperkenalkan perubahan yang berorientasi pada pengembangan holistik dan berbasis pengalaman.