Kere munggah bale. Itulah peribahasa Jawa yang menggambarkan pribadi yang tidak tahu diri setelah naik pangkat dan beroleh jabatan. Biasanya kalau sudah dapat pangkat tinggi orang jadi sombong. Kalau sudah kaya orang menjadi angkuh dan bakhil. Flexing pamer harta. Di sisi lain tidak mau berbagi kepada yang miskin dan papa.
Jika seseorang mendapatkan karunia kekuasaan dan ia masih rendah hati maka itulah yang semestinya. Tahta untuk rakyat menjadi nilai yang mendasari eksistensi kerajaan Mataram. Demikian juga kurang lebih kerajaan lainnya di bumi Nusantara yang eksis pada masanya. Jika tetap berada dalam filosofi tahta untuk rakyat maka sang pemimpin akan menjalankan amanat itu dengan segenap pengabdiannya sebagai Khalifatullah. Sebagai pengemban misi profetik.
Kekuasaan dipergulirkan. Ada suksesi dan muncul wangsa atau dinasti. Suksesi yang mulus dan transfer kekuasaan yang damai dan konstitusional menjadi dambaan rakyat. Demi beroleh kejayaan dan kemajuan bangsa di kemudian hari. Demi kepentingan bersama. Atasnama kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Demi pencapaian kesejahteraan rakyat dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Seorang pemimpin yang akan segera mengakhiri masa jabatannya selalu memikirkan siapa yang akan melanjutkan ideologi, sikap, langkah dan arah kebijakan politiknya. Ia juga akan menerapkan jurus sakti melawan situasi ‘lame duck’ atau bebek lumpuh. Tentu wajar dan tidak salah. Namun upaya itu harus dilakukan dalam koridor konstitusi.
Sekira 4,5 bulan lagi Pemilu akan berlangsung. Akan ada presiden terpilih menggantikan Joko Widodo. Meski sang petahana akan menjalankan fungsi kepresidenan hingga Oktober 2024, tuah politik yang dipegangnya relatif akan surut. Dalam hitungan bulan inilah sikap dan langkah Jokowi diuji dan diamati baik secara nasional maupun internasional. Seberapa piawai ia mengambil peran dalam transisi kepemimpinan nasional.
Jokowi kemungkinan besar akan ‘madheg pandhito’ setelah satu dasawarsa berkuasa. Sebagaimana SBY maka sang petahana akan menjadi tokoh politik yang masih akan menentukan geliat demokrasi di Tanah Air. Menjadi salah satu pemimpin partai politik tentu menjadi opsi paling rasional bagi Jokowi.
Terlepas dari itu semua, Jokowi adalah presiden yang berasal dari kalangan rakyat. Namun Jokowi adalah rakyat Surakarta atau Solo yang berabad lamanya menjadi pusat kekuasaan Jawa. Kekuasaan Mataram Islam yang hingga kini masih berperan setidaknya simbol budaya.
Jokowi lahir dalam budaya dan tatanan budaja Jawa yang sangat kental. Surakarta pernah menjadi pusat kekuasaan Jawa selama lebih dari 200 tahun, dari tahun 1755 hingga 1945. Pada masa itu, Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta Hadiningrat, salah satu dari dua kerajaan penerus Kesultanan Mataram.
Sejarah Surakarta sebagai pusat kekuasaan Jawa dimulai pada tahun 1755, ketika terjadi Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini membagi Kesultanan Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Konflik yang mendera internal keluarga kraton melibatkan kepentingan eksternal kolonialis Belanda. Namun kekuasaan Mataram dan penerusnya jauh lebih panjang dari usia Republik yang belum genap seabad ini.
Pasca perjanjian tersebut Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang sunan, sedangkan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang sultan. Kedua kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang terpisah, dengan Surakarta berada di bagian timur dan Yogyakarta berada di bagian barat.
Dari trah Kasultanan Yogyakarta ini lahir Prabowo Subianto. Sang Capres memiliki darah biru sekaligus intelektual dari leluhurnya. Sang mantan Jenderal ini kini menjadi sosok yang dipersepsikan sebagai pelanjut Jokowi. Sebuah dinamika yang luar biasa dalam politik Indonesia mengingat dalam dua pemilu sebelumnya Prabowo adalah seteru Jokowi. Kontestasi keduanya nyaris membelah negeri ini.
Kembali ke soal Jokowi sebagai King Maker. Sang petahana terlihat sangat mewakili cara pandang Jawa. Hampir sama dengan Suharto dalam banyak hal. Di balik senyum dan kelembutan tutur katanya ada kekuatan kepemimpinan. Jokowi berani mewujudkan ‘mimpi’ pembangunan infrastruktur dan memindahkan ibukota negara. Ia seorang pengambil keputusan. Ia juga sanggup mengelola konflik berkaca dari refleksi atas sejarah transisi kekuasaan di negeri ini khususnya di Tlatah Mataram.