Tidak hanya suhu udara yang panas, suhu politik Tanah Air berada di titik didihnya. Perihal siapa calon wakil presiden yang bakal diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi episentrumnya. Prabowo dan koalisinya masih belum mengambil keputusan meski nama calon wakil presiden makin mengerucut.
Kini perbincangan publik mengarah pada jadi atau tidaknya Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo. Keputusan dilematis ini akan diambil di tengah kontroversi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan langkah Komite Pemilihan Umum (KPU) untuk menindaklanjuti putusan tersebut.
Gibran dinilai potensial menjadi kunci kemenangan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Hal itu tidak terlepas dari kepercayaan publik pada Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai Presiden RI. Banyak orang tidak ‘rela’ melepaskan Jokowi mengakhiri masa jabatan konstitusionalnya pada 2024 kelak. Dan salah satu manifestasinya adalah mendukung Gibran sebagai ‘reinkarnasi politik’ Jokowi.
Nama lain seperti Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, dan Yusril Ihza Mahendra memiliki rekam jejak yang lebih menjanjikan sebagai calon wakil presiden. Elektabilitas Erick bahkan menjadi yang tertinggi di hasil survei banyak lembaga. Namun kapasitas dan dan elektabilitas harus berhadapan dengan realitas politik. Kepentingan partai pengusung capres-cawapres belum tentu sejalan dengan elektabilitas para kandidat.
Pertarungan pilpres 2024 terasa sangat ketat. Tidak ada figur yang dapat memastikan dirinya dominan dan mengungguli capres lainnya. Siapa yang akan mendampingi calon presiden menjadi kunci kemenangan. Maka elemen elektabilitas menjadi sangat menentukan dalam penentuan calon wakil presiden. Situasi yang dirasakan publik sejak setahun terakhir. Muncul istilah pemilihan umum wakil presiden atau pilwapres sebagai istilah baru dalam kamus politik Tanah Air.
Kini semua mata dan telinga tertuju pada Gibran yang berada di ambang pintu menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo. Meski Menteri BUMN Erick Thohir politisi dan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra membayangi di belakang langkah pasif Gibran yang membuat kawan dan lawan harap-harap cemas.
Mereka yang tidak setuju dengan isu pencalonan Gibran sebagai cawapres memiliki sejumlah argumentasi. Soal pengalaman yang bersangkutan menjadi alasan utama. Gibran dinilai masih terlalu ‘hijau’. Ia belum pernah menjabat sebagai gubernur. Ia juga belum pernah menjabat posisi menteri atau jabatan di tingkat nasional.
Bagi yang setuju dengan pencawapresan Gibran, diusungnya Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo bisa menjadi alasan bagi Sang Walikota untuk menyeberang ke kubu lain. Posisinya sebagai kader PDIP dikabarkan akan segera ditinggalkan dengan bergabungnya Gibran menjadi kader Golkar.
Golkar sendiri akan segera melaksanakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Diperkirakan Gibran akan bergabung dan diumumkan melalui forum tersebut. Meski muncul juga aspirasi di tubuh Partai berlambang beringin ini untuk mengevaluasi kepemimpinan Airlangga Hartarto. Rakernas Partai Golkar Juni 2023 memberi mandat kepada ketua umum, untuk menentukan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Dalam beberapa Pemilu partai ini tidak mampu menyodorkan kadernya sebagai Calon Presiden.
Sementara itu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Ashidiqi bertemu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Didampingi mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman keduanya membahas putusan MK soal syarat pendaftaran capres-cawapres. Menurut Jimly, putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi kesempatan kepala daerah dibawah usia 40 tahun, mendaftar sebagai peserta pilpres bagus tetapi tidak tepat waktunya.
Apalagi menurut Jimly, Ketua MK Anwar Usman ikut memberi pertimbangan dalam permohonan uji materi syarat mendaftar capres cawapres untuk kepala daerah, yang obyek perkaranya terkait dengan Gibran, keponakan Anwar.
Publik masih menunggu dengan harap-harap cemas. Konsolidasi demokrasi di Indonesia harus berhadapan dengan realitas yang tidak serta merta senafas dengan keinginan para pejuang demokrasi.