Politik dan hukum dalam praktiknya seringkali bergesekan. Dalam berbagai kasus alih-alih supremasi hukum yang berlaku, justru politisasi hukum yang terjadi. Para pembuat hukum atau law maker memang berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun dalam bingkai Trias Politika, kekuasaan yudikatif berada di luar ranah legislatif. Dengan pembagian cabang kekuasaan itulah demokrasi diharapkan tegak demi kepentingan rakyat.
Politisasi hukum menjadi isu panas kala tahapan Pilpres 2024 menghadapkan kenyataan majunya Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 36 tahun sebagai calon wakil presiden. Ia lolos dari ketentuan batas usia 40 tahun dengan dalih sedang menjadi kepala daerah sebagai jabatan yang didasari oleh pilihan rakyat.
Ada yang kontra dan ada yang pro. Sejumlah akademisi dan ilmuwan memberi penilaian tentang putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia capres dan cawapres. Dilansir dari disway.id Kepala Pusat Riset Politik (PRP) BRIN, Athiqah Nur Alami, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut janggal, aneh, dan bahkan cacat hukum. Putusan itu juga dinalinya tidak ditetapkan secara bulat oleh sembilan hakim MK.
Bahkan Yusril Ihza Mahendra yang notabene mendukung pencalonan Gibran sebagai cawapres pun memberi catatan bahwa putusan MK tersebut cacat hukum. Sikapnya terbelah. Di satu sisi ia akademisi dan di sisi lain ia politisi. Apa boleh buat demi politik rekonsiliasi. Hal demikian juga diamini oleh Fahri Hamzah dan sejumlah politisi kritis pendukung Prabowo-Gibran.
Kita semua memahami bahwa keputusan Mahkamah Konsitusi bersifat final and binding. Hanya etika yang menjadi harapan terakhir para pencinta demokrasi ketika palu hakim MK sudah diketok. Suka atau tidak suka, mau tidak mau putusan itu harus ditindak lanjuti.
Politik dan hukum merupakan dua variabel yang selalu mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Terdapat tiga asumsi mendasar mengenai hubungan antara politik dan hukum. Yang pertama, hukum determinan atas politik: Hukum menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Yang kedua, politik determinan atas hukum. Kegiatan politik mempengaruhi pembentukan hukum. Terakhir, politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung dimana politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan, sementara hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.
Sementara itu menurut Moh. Mahfud MD, politik selalu memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan hukum itu sendiri. Bahkan, hukum adalah produk politik, yang artinya bahwa produk hukum yang dibentuk oleh legislator tak steril dari kepentingan politik para pembuatnya. Hukum harus dapat merekayasa perkembangan politik yang hidup dalam masyarakat dan negara.
Dalam konteks Indonesia, politik selalu determinan dibandingkan hukum. Hal ini dapat dilihat dari potret politik dan hukum di Indonesia, di mana produk hukum selalu dipengaruhi oleh politik mulai dari pembuatannya sampai pada tataran pelaksanaannya di lapangan. Namun, hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar, dan keduanya saling mempengaruhi. Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik, sementara kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif.
Politik dan hukum saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Meskipun mereka berada dalam bidang studi yang berbeda, politik dan hukum memiliki hubungan yang erat.
Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama yang menjadi dasar dari kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan untuk menyelesaikan segala perselisihan, termasuk perselisihan politik.
Di sisi lain, hukum harus dilengkapi dengan instrumen politik yang absah untuk menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum, seperti kekerasan fisik maupun kekerasan instrumental.
Ketika hukum diartikan sebagai undang-undang, maka hukum merupakan produk politik. Hukum dibentuk oleh lembaga legislatif sehingga dapat diartikan bahwa hukum merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik.
Konsep ini juga berlaku sebaliknya. Konfigurasi politik yang demokratis biasanya melahirkan hukum responsif atau populistik, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter biasanya melahirkan produk hukum yang konservatif atau ortodoks.
Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh politik hukum adalah karakter hukum pemerintahan daerah di era orde baru. Konfigurasi politik yang diciptakan pada periode ini adalah otoriter birokratis karena obsesi menciptakan stabilitas sebagai syarat utama pembangunan ekonomi.
Dengan demikian, hubungan antara politik dan hukum sangat erat. Keduanya saling mempengaruhi dan membentuk satu sama lain dalam konteks pembentukan undang-undang dan penerapan hukum.