Ini hanya sebuah kisah. Sebuah legenda belaka. Berkisah tentang pihak yang terluka. Inilah kisah tentang Banteng Ketaton. Legenda dari zaman Majapahit yang masih dikenang hingga saat ini. Luka yang menganga sekaligus membuat sang empunya luka tersadar dan bangkit. Melawan dan tidak membiarkan dirinya tenggelam.
Kembali ke legenda. Alkisah ada seorang maharesi dengan ilmu kanuragan yang tarafnya menyundul langit, tiada tanding tiada banding. Jurus pamungkasnya adalah banteng ketaton. Banteng ngamuk karena mabuk. Bayangkan jika banteng ngamuk dan mabuk, seruduk kiri seruduk kanan, segala hal diseruduk. Ini jurus yang ditakuti dan disegani oleh semua ahli kanuragan. Jurus itulah yang dikuasai oleh Ronggolawe.
Ronggolawe putra Adipati Sumenep Arya Wiraraja. Kompanyon utama Raden Wijaya dalam mendirikan Kerajaan Majapahit. Ia terlibat dalam pemberontakan terhadap Kerajaan Majapahit pada tahun 1295 Masehi. Ronggolawe memimpin pasukan pemberontak dan bertempur melawan pasukan Kerajaan Majapahit di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang. Dalam pertempuran tersebut, Ronggolawe melakukan duel satu lawan satu dengan Kebo Anabrang dan akhirnya tewas di sungai.
Banteng Ketaton juga menjadi simbol keberanian rakyat Madiun dalam melawan agresi Militer Belanda. Patung Banteng Ketaton dibuat sebagai persembahan untuk rakyat Madiun dalam keberaniannya menentang agresi tersebut.
Dalam tradisi Jawa, seekor banteng baru akan disebut atau dianggap sebagai “banteng” jika ia mengamuk. Nilai dan semangat banteng terluka diwariskan dari zaman dahulu dan masih dihargai hingga saat ini. Istilah ini menggambarkan semangat perlawanan yang gigih dan tidak kenal menyerah. Istilah ini merujuk pada semangat para pejuang yang telah gugur melawan penjajah. Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang gigih dan berani dalam menghadapi tantangan atau kesulitan. Simbol dari kekuatan, semangat perlawanan, tidak memiliki rasa takut dan ketangguhan yang dihargai dalam budaya Jawa.
Simbol banteng hingga kini masih eksis dalam politik Tanah Air. Partai terkuat pemenang pemilu adalah PDIP yang berlogo banteng gemuk dengan moncong putih. Kini sang banteng sedang terluka. Atau setidaknya dipersepsikan sedang ditinggalkan bahkan teraniaya. Luka itulah yang kini menjadi amunisi capres-cawapres yang diusungnya.
Terluka dan ditinggalkan menjadi iklan paling laku meraih simpati publik. Simpati yang belakangan dapat dikonversi menjadi elektabilitas. Pemilih tergerak mencoblos demi membela mereka yang setia dalam luka. Setia walau berdarah-darah. Demi mengemban misi suci berjuang demi rakyat, demi keadilan, demi masa depan negerinya.
Di belahan bumi lain banteng ketaton jadi tontonan belaka. Di arena matador banteng-banteng dimainkan emosinya. Ditantang dan dilukai. Demi menguji nyali para matador. Mereka yang menjadi penakluk banteng yang sedang terluka dan mengamuk. Banteng yang menggunakan seluruh kekuatannya untuk memenangkan pertarungan.
Tidak hanya adu kekuatan. Matador adalah pertarungan mengendalikan emosi. Tentang siapa yang lebih terukur dalam merespon serangan lawan. Demi kemenangan atas pertarungan penuh risiko. Vivere peri coloso.