Sejatinya, politik merupakan seni berbagai strategi untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, untuk mempengaruhi orang lain dan sekumpulan orang. Lewat politik kita bisa membuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Berkat politik hak-hak asasi warga negara bisa dilindungi.
Tak cuma itu, politik juga bisa membantu kita menyelesaikan konflik, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks yang lebih luas, melalui politik kita bisa membangun sebuah bangsa, mendorong kemajuan, menciptakan peradaban.
Saking pentingnya politik, seorang penyair Jerman Bertolt Brecht pernah bilang, ‘Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, ikan, tepung, sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.”
Sayang, seringkali kita lihat praktik-praktik politik justru tak mencerminkan peran politik yang sesungguhnya. Banyak orang melecehkan politik itu sendiri. Atas nama politik, tindakan tercela, kebohongan, hingga korupsi dihalalkan. Melahirkan stigma negatif terhadap politik.
Politik pun akhirnya menjadi seperti dikatakan ikon idealisme kalangan muda, Soe Hok Gie, sebagai barang paling kotor, lumpur-lumpur kotor yang di dalamnya sama sekali tak mengenal moral. Padahal, hakikatnya politik itu suci dan memiliki makna amat mulia seperti asal katanya ‘Politeia’. Polis berarti negara dan teia berarti urusan atau berarti urusan kehidupan bernegara.
Aristoteles juga pernah bilang, seharusnya politik dipakai masyarakat untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang dianggap terdapat nilai moral yang lebih tinggi dibanding kepentingan, kedudukan, atau kekuasaan.
Sebuah ikhtiar
Saat ini, di era politik mengalami penuruanan kepercayaan, tampil di muka dan bergaya seperti Soe Hok Gie ataupun Aristotels untuk menarasikan nilai-nilai suci politik tentu butuh upaya lebih keras. Karena alih-alih dianggap hanya sebagai cosplay belaka.
Namun sebagai sebuah ikhtiar, kita tetap memerlukan upaya untuk merawat politik kebangsaan. Karena itu, kita perlu mengacungkan semua jempol kita terhadap upaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akan menggelar ‘Uji Publik dan Dialog Terbuka’ bersama tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan tampil pada Pilpres 2024.
Saya garis bawahi, Muhammadiyah mengundang semua calon, bukan hanya calon tertentu untuk mengikuti uji publik dan dialog terbuka. Ini dilakukan agar Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada khittah yang ada, bahwa Muhammadiyah bukan kendaraan politik, sekalipun memiliki massa yang besar.
Uji publik dan dialog terbuka ini juga dalam rangka mendorong warga, kader, pimpinan, dan simpatisan Muhammadiyah untuk menjaga koridor. Juga menepis anggapan bahwa Muhammadiyah lebih condong ke calon tertentu. Apalagi menarik-narik muhammadiyah untuk mendukung salah satu kontestan Pilpres 2024.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir sudah menyampaikan dengan tegas di berbagai kesempatan, jika dalam konteks Pemilu 2024 pihaknya mempersilahkan pihak manapun untuk menarik simpati warga Muhammadiyah dengan cara yang baik. Namun jangan sekali-kali menarik-narik Muhammadiyah untuk dipaksakan mendukung salah satu calon.
“Silahkan menarik simpati dari seluruh warga Muhammadiyah dengan cara yang baik, berakhlak mulia, dan tata krama politik yang baik. Tetapi jangan menarik-narik Muhammadiyah baik dari dalam maupun luar, supaya Muhammaidyah terbawa untuk ikut mendukung,” tegas Haedar Nashir dalam acara Indonesia Bicara yang diadakan TVR pada kamis [24/11/2023].
Transformasi demokrasi
Apa yang dilakukan Muhammadiyah adalah ikhtiar yang tak mudah, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie, bahwa politik itu kotor, namun pada akhirnya kita harus terjun juga. Persoalannya, lebih banyak orang yang terjun kemudian malah larut dan mengikuti arus utama. Tidak malah mengambil jalan berbeda dan membuat perubahan.
Karena itu menurut hemat penulis, Muhammaidyah atau civil society lainnya yang masih terjaga perlu mendorong upaya-upaya konkrit untuk mendorong kualitas demokrasi menjadi lebih baik, bukan lebih buruk. Dari sisi aturan misalnya, jika kegaduhan politik saat ini disebabkan oleh aturan ambang batas presiden, maka Muhammadiyah atau siapa pun perlu melakukan jihad konstitusi.
Meski aturan ini juga awalnya bermaksud baik, dalam rangka menyederhanakan atau membatasi jumlah partai di parlemen. Namun nyatanya, ini malah dijadikan ajang cawe-cawe, dan saling sandera.
Ditambah lagi dengan tahapan pemilu yang begitu panjang dan teknis yang terlalu njelimet. Membuat biaya politik menjadi sangat mahal, sehingga pada akhirnya mendorong praktik korupsi dan money politic dilakukan secara berjamaah. Jika tak punya uang jangan harap bisa mencalonkan dan ikut berkontestasi dalam ajang pesta demokrasi lima tahunan.
Celakanya, hingga titik ini kita pun belum melihat ada keseriusan baik dari KPU, DPR, maupun pemerintah sendiri untuk menerapkan sistem e-voting. Sistem yang tidak lagi konvensional, yang membuat masyarakat tidak perlu berkerumun dan datang ke TPS untuk mencoblos.
Padahal jika kita mulai bergeser memanfaatkan sistem ini maka, biaya penyelenggaraan pemilu menjadi lebih irit. Perhitungan suara tidak membutuhkan sumber daya manusia terlampau banyak, sehingga lebih mahal. Waktunya lebih singkat, dan bisa mencegah kelelahan. Begitu juga dengan ongkos politik para kontestan, lebih murah sehingga meminimalisasi serangan fajar.
Kita semua sepakat, bahwa kendaraan demokrasi harus berjalan dengan cara-cara berkualitas. Agar Indonesia bisa jadi negara yang bersatu, berdaulat, adil, makmur, dan berkemajuan. Semua orang yang ikut berkontestasi dalam Pemilu Raya sadar jika ajang tersebut tidak hanya untuk membangun kekuasaan dirinya sendiri, atau keluarganya. Namun untuk membangun kekuatan, untuk memajukan Indonesia.
Untuk itu, upaya dialog terbuka hingga jihad konstitusi mesti terus diupayakan. Sampai pada titik kita bisa mengembalikan politik pada jalurnya kembali, yaitu sebagai jalan yang suci untuk mendapatkan kebaikan berbangsa dan bernegara. Bukan untuk kedudukan dan kekuasaan semata.