MESKI baru edisi perdana, panggung Debat Capres 2024 sudah seru dan panas. Hasilnya, bisa kita duga.
Untuk sementara, babak pertama ini menjadi milik pasangan nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan. Tentu saja bukan dari sisi substansi, melainkan strateginya.
Anies sukses memaksa Prabowo Subianto terpojok dan memilih menggunakan logika debat argumentum ad hominen. Memilih untuk menyerang beberapa atribut, karakter, motif, ketimbang menyerang substansi dari argumen yang dilesakkan Anies sendiri.
“Saya berpendapat mas Anies ini agak berlebihan, mas Anies mengeluh tentang demokrasi ini dan itu dan ini mas Anis dipilih jadi Gubernur DKI menghadapi pemerintah yang berkuasa. Saya yang usung bapak,” kata Prabowo saat menjawab serangan mendadak Anies Baswedan soal pembangunan demokrasi.
Menurut Prabowo, kalau bukan karena demokrasi tidak mungkin Anies menjadi Gubernur.
“Kalau Jokowi diktator anda tidak mungkin jadi Gubernur saya waktu itu oposisi mas Anies anda ke rumah saya anda oposisi anda terpilih,” paparnya.
Prabowo di titik ini memilih untuk menyerang Anies dari sisi personal, ketimbang substansi yang ditanyakan lawan.
Di isu pemberantasan korupsi, Prabowo sebetulnya bisa lebih diuntungkan. Mengingat kedua lawannya sedang diselimuti awan gelap pemberantasan korupsi.
Anies misalnya, jelas-jelas dalam posisi yang tidak aman secara personal utamanya Cak Imin yang tersorot kasus korupsi, kemudian dari kubu Nasdem sebagai mitra koalisinya.
Sementara di kubu pasangan nomor urut 3, Ganjar Mahfud juga sedang disibukkan dengan isu Harun Masikhu yang tak kunjung tertangkap dan kasus korupsi e-KTP yang tiba-tiba menyeruak kembali.
Namun peluru-peluru tersebut ternyata tak digunakan Prabowo untuk menembak titik lemah lawannya. Prabowo malah memilih dan mengandalkan mimikri dengan Jokowi. Yang sebetulnya tak perlu dipertegas.
Prabowo Subianto mestinya melawan argumentasi Anies dengan narasi-narasi yang bersandar pada penalaran yang tak bisa diragukan [apodiktis naturalisme].
Misalnya, menggunakan indikator parameter ekonomi 2018-2022 untuk menembak janji politik Anies Baswedan di Pilkada DKI 2017. Penilaian ini jelas tidak personal tapi berbasis evaluasi kinerja.
Prabowo sebetulnya sempat menyinggung jumbonya anggaran DKI, namun Anies nyatanya gagal memanfaatkan potensi untuk memakmurkan warganya. Jumlah pengangguran semasa Anies memimpin justru meningkat ditutup di angka 8%, naik tajam dari awal memimpin 5,75% dan jauh di atas level nasional 5,86%. Tapi itu tak dielaborasi lebih lanjut.
Adalah fakta tak terbantahkan, sewaktu Jakarta diperintah Anies yang kaya makin kaya dan miskin makin miskin, terbukti dari koefisien gini dari 0,39 menjadi 0,42 -semakin besar angka semakin buruk.
Setelah gagal merealisasikan janji kampanye untuk membatalkan reklamasi di Teluk Jakarta yang sudah diteken pendahulunya, Anies malah memberikan izin reklamasi kepada PT Pembangunan Jaya memperluas reklamasi kawasan Ancol. Ini adalah fakta, tapi tak dilambungkan.
Prabowo juga sempat menembak Anies dengan isu polusi di Jakarta. Kali ini, Prabowo tahu bahwa Anies akan sama dengan kegagalannya mengatasi banjir di Jakarta. Karena konsepnya soal ‘air hujan masuk tanah’ atau sumur resapan yang tak berhasil.
Ini sedikit berhasil, Anies malah sibuk dengan silat bahasa, berdebat soal arah angin.
Ad hominen memang tak selamanya buruk, asalkan related dengan pokok masalah yang diperdebatkan. Soal aplikasi JAKI misalnya. Anies menyebutnya sebagai sebuah terobosan.
Faktanya, banyak warga mendatangi balai kota lantaran laporannya via Jaki tak kunjung direspon. Ad hominen dalam konteks ini, bisa digunakan untuk membicarakan kebohongan dan kemunafikan yang dimaksud Prabowo tentang Anies.
Bahwa Anies terlalu banyak bicara namun tidak banyak bekerja, No Action Talk Only [NATO]. Seperti Manchester United, yang selalu sesumbar tentang strategi dan skuad baru yang dimilikinya, namun ujung-ujungnya tetap saja kalah meski melawan klub dengan kasta terbawah sekalipun. Tabik!