SELAIN berkutat soal rumus, fisika rupanya punya peran penting dalam menjaga hidup kita tetap seimbang dengan alam. Sayangnya, sejak abad ke-18, saat revolusi industri 1.0 dimulai, kita larut dalam paradigma yang dibangun Sir Isaac Newton, tentang mekanika klasik. Hukum yang membahas gaya yang bekerja pada suatu benda.
Hukum mekanika klasik ala newton meresap di hampir semua lini kehidupan, membuat cara berpikir kita menjadi sangat mekanistik dan pragmatis. Termasuk dalam ekonomi, pengaruh paradigma ekonomi yang mencerminkan pemikiran Newtonian, terutama dari ekonomi klasik, dapat dirasakan sejak abad ke-18 hingga sekitar pertengahan abad ke-19. Era ini dikenal sebagai masa klasik ekonomi, di mana ide-ide ekonomi dari para pemikir seperti Adam Smith, David Ricardo, dan John Stuart Mill mendominasi pandangan ekonomi.
Pada masa ini, gagasan-gagasan fundamental ekonomi klasik, seperti pasar bebas, tangan tak terlihat (invisible hand), dan teori nilai buruh, menjadi dasar bagi ekonomi politik pada saat itu. Pemikiran ini menciptakan landasan untuk pemahaman pasar sebagai mekanisme yang mengatur dirinya sendiri, mirip dengan prinsip-prinsip mekanika Newtonian yang menekankan pada keseimbangan dan ketertiban alam semesta.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, paradigma newtonian telah membuat negara-negara yang kaya akan sumber daya alam sempat mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi, namun secara perlahan juga kembali mengalami penurunan. Di kemudian hari, kita pun mengenal adanya istilah kutukan sumber daya alam [the curse of natural resources].
Termasuk negara kita, Indonesia. Pernah mengalami peristiwa Oil Boom, fenomena kenaikan harga minyak pada 1970-an. Indonesia mengalami dua kali euforia ketika minya kemudian memberikan keuntungan besar bagi devisa negara yakni pada tahun 1974 dan 1979. Rupiah tetiba menguat, dan daya beli masyarakat semakin meningkat.
Generasi muda yang orangtuanya pernah bekerja pada para ekspatriat, mungkin punya cerita yang sama. Meski mereka hanya menjadi driver, tukang kebun, atau koki, efeknya betul-betul bisa dirasakan.
Mulai dari gaji yang tinggi, bonus yang selalu diberikan tiap minggu, hingga jual beli barang antik yang saat itu juga ikut menggembirakan. Barang antik apa pun, jika saat itu kita jual kepada para ekspatriat, dijamin laku dan dihargai sangat tinggi.
Namun sekali lagi, itu tak berlangsung lama. Mulai awal tahun 80-an, kejayaan itu perlahan mulai berakhir. Para pekerja di rumah-rumah ekspatriat kembali pulang kampung. Ekonomi negara mulai gonjang-ganjing. Puncaknya, di tahun 1998, kita mengalami krisis moneter.
Shifting paradigma
Gegara memegang teguh paradigma Newtonian itu, banyak negara di dunia yang mengalami krisis demi krisis yang tak terduga. Termasuk yang terakhir kita hadapi, serangan virus yang mematikan, pandemi Covid-19.
Dalam perkembangan ekonomi modern, paradigma yang digunakan untuk memahami dinamika pasar dan perilaku ekonomi sebetulnya telah mengalami pergeseran signifikan. Sejak era klasik ekonomi yang dipengaruhi oleh pemikiran Newtonian, kita sekarang bergerak menuju pengenalan konsep ekonomi yang lebih dinamis dan kompleks, mirip dengan prinsip-prinsip termodinamika dan konsep entropi.
Pergeseran menuju ekonomi entropi mengakui sifat keberlanjutan dan dinamika dalam sistem ekonomi. Berbeda dengan paradigma mekanik yang menekankan pada keseimbangan statis, ekonomi entropi mengakui bahwa pasar ekonomi adalah sistem yang selalu berubah, melibatkan faktor-faktor ketidakpastian, kekacauan, dan adaptasi.
Ekonomi entropi menggambarkan kompleksitas dalam pengambilan keputusan ekonomi dan perilaku pasar. Konsep ini mencerminkan ketidakpastian yang melekat dalam kondisi ekonomi global yang terus berubah. Ketidakpastian ini diakui sebagai suatu keadaan yang alami, membutuhkan pendekatan yang lebih fleksibel dan dinamis dalam merumuskan kebijakan dan strategi ekonomi.
Ekonomi entropi menekankan pentingnya adaptasi terhadap perubahan. Sistem ekonomi yang kompleks dan dinamis memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi pasar, teknologi, dan faktor-faktor lingkungan. Hal ini menciptakan panggung untuk inovasi, pengembangan ekonomi berkelanjutan, dan kemampuan untuk mengatasi tantangan yang tak terduga.
Transisi ke ekonomi entropi mendorong keterlibatan lebih besar dari pelaku ekonomi, baik itu individu, perusahaan, atau pemerintah. Dalam ekonomi mekanik Newtonian, pasar dianggap sebagai entitas otonom yang mencapai keseimbangan tanpa banyak intervensi. Sebaliknya, ekonomi entropi menghargai peran aktif pelaku ekonomi dalam membentuk dinamika pasar.
Konsep ekonomi entropi juga mencerminkan urgensi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pergeseran ini merangsang penekanan pada keberlanjutan lingkungan dan sosial sebagai bagian integral dari pertumbuhan ekonomi. Dengan memperhitungkan dampak jangka panjang dari kebijakan ekonomi, kita dapat mencapai pembangunan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
Akhirnya, transisi menuju ekonomi entropi menciptakan pola pikir baru yang diperlukan untuk menghadapi tantangan masa depan. Dengan mengadopsi pandangan ini, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih responsif terhadap perubahan iklim, globalisasi, dan dinamika ekonomi global lainnya.
Transisi dari ekonomi mekanik Newtonian ke ekonomi entropi bukan hanya perubahan konseptual, tetapi juga sebuah langkah menuju pemahaman yang lebih mendalam dan inklusif tentang dinamika ekonomi modern. Ini bukan hanya tentang mengganti paradigma, tetapi juga tentang mempersiapkan kita untuk menghadapi dunia yang terus berubah dengan lebih bijak dan adaptif.
Sinyal Ekonomi Berkelanjutan dari IKN
Sejak dahulu, nenek moyang kita sebetulnya hidup dekat dan berdampingan dengan alam. Baik soal bagaimana mereka mencari penghidupan, menyembah Tuhan, hingga menentukan pasangan.
Soal yang terakhir, seringkali kita diajarkan untuk menghitung hari baik pernikahan berdasarkan hitungan weton. Itu lantaran mereka, telah belajar lama dari pengalaman. Sambil mereka cocokan karakternya dengan bahasa alam.
Pun demikian soal pengelolaan sumber daya alam, semestinya dilakukan dengan cara-cara yang mengedepankan keseimbangan dengan alam. Dalam konteks pembahasan ini, kita sepakati dengan pembangunan berkelanjutan.
Soal bagaimana seharusnya negara mengelola sumber daya alam, maka belajar kepada negara Nordik di Eropa Utara, Norwegia mungkin bisa jadi pilihan. Negara ini seringkali dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dalam manahemen sumber daya alam yang bijaksana.
Sebagai negara yang kaya akan gas dan minyak bumi, mereka terbilang sukses menciptakan fondasi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Mereka juga berhasil membentuk Sovereign Wealth Fund [SWF].
Norwegia mengadopsi model manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan yang dikenal dengan ‘The Norwegian Model’ atau ‘The Norwegian Continental Shelf Model.’ Dengan model ini, pendapatan dari sektor minyak dan gas digunakan untuk membangun kekayaan nasional jangka panjang melalui Sovereign Wealth Fund yang disebut Government Pension Fund Global [GPFG] atau lebih dikenal sebagai ‘Norwegian Oil Fund.’
Hasilnya, GPFG menjadi SWF terbesar di dunia. Pada tahun 2021 misalnya, GPFG punya aset lebih dari 1 triliun dolar AS. Bukan cuma soal ukurannya, tapi juga soal transparansi, tata kelola, dan penggunaan dananya secara berkelanjutan.
Norwegia bisa memisahkan pendapatan sumber daya alam dari belanja publik sehari-hari untuk menghindari inflasi berlebih dan fluktuasi ekonomi yang merugikan. Dana GPFG digunakan Norwegia secara bertanggungjawab dengan menekankan pada isu lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan. Dan yang terpenting, mereka berkomitmen untuk melakukan pembelajaran yang berkelanjutan.
Meski bangsa kita pernah turut larut dalam paradigma pembangunan bergaya mekanistik namun saat ini kita juga perlahan sedang melakukan transisi, bergerak menuju pengenalan konsep ekonomi yang lebih dinamis dan kompleks. Paling tidak dengan dibangunnya Ibu Kota Negara [IKN] di Kalimantan.
PBB melalui United Nations Economic and Social Commission for Asia and The Pacipic [UNESCAP] telah berkunjung ke ibu kota baru Indonesia ini. Untuk meninjau keselarasan pembangunannya dengan visi pembangunan berkelanjutan atau SDGs.
Kepala Otorita IKN Bambang Susantono mengatakan, bahwa OIKN sangat memperhatikan implementasi SDGz dalam pembangunan IKN. “Perhatian pertama kami [OIKN] dalam membangun Nusantara adalah menjadikannya sebagai sustainable dan livable city [kota layak hidup dan berkelanjutan],” kata Bambang.
Bambang juga bilang, proyek-proyek berkelanjutan di IKN banyak dilakukan, seperti Persemaian mentawir sebagai langkah awal reforestasi, serta pertanian hidroponik dari warga Sepaku, Kalimantan Timur, yang menjadi aksi dukungan untuk usaha ekonomi yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, pembangunan berkelanjutan di IKN diharapkan juga dapat diimplementasikan dalam pembangunan-pembangunan lainnya di Indonesia. Termasuk dalam cara kita mengelola sumber daya energi yang melimpah.
Harapan akhirnya, sebetulnya sederhana. Seperti saat kita menikmati lagu-lagu yang dilantunkan Mohammad istiqomah Djamad atau akrab disapa Is, vokalis pertama Payung Teduh. Rasanya, sangat meneduhkan.