Dalam Debat Pilpres 2024 tema reforma agraria menjadi salah satu perhatian publik. Isu ini penting mengingat keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap tanah diharapkan mampu memangkas kemiskinan dan mendongkrak ketahanan pangan. Jika reforma agraria berjalan dengan optimal maka kualitas lingkungan hidup juga dipastikan akan meningkat.
Soal agraria memang bukan sekedar bagi-bagi sertipikat tanah. Agraria merujuk pada aspek-aspek yang berkaitan dengan distribusi, alokasi, dan kepemilikan tanah. Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan ‘pertanahan’. Dalam banyak konteks, agraria memiliki keterkaitan yang kuat dengan pertanian (atau agrikultur dalam arti yang lebih luas), karena konsep agraria awalnya muncul seiring dengan pengolahan lahan.
Menurut laporan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terjadi 212 konflik agraria di Indonesia selama tahun 2022. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sebesar 2,36% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencatat 207 kasus.
Konflik agraria di Indonesia pada tahun 2022 melibatkan lahan dengan luas total 1,03 juta hektare (ha), dan berdampak pada 346.402 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 459 desa/kota. Sektor perkebunan menjadi lokasi terbanyak konflik agraria pada tahun 2022, dengan 99 kasus, melibatkan wilayah seluas 377,19 ribu ha dan mempengaruhi 141.001 KK. Dari jumlah tersebut, 80 kasus terjadi di perkebunan sawit.
Konflik Agraria dapat diartikan sebagai perselisihan agraria antara individu atau kelompok masyarakat dengan badan hukum dan/atau instansi pemerintah yang memiliki potensi atau berdampak luas dalam aspek fisik, sosial, politis, ekonomi, pertahanan, atau budaya.
Petani dan nelayan memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan produksi komoditas pertanian dan perikanan sangat diperlukan. Konflik agraria dan sengketa tanah menjadi salah satu hambatan yang mengganggu efektivitas sektor pertanian dan perikanan.
Ada dua faktor utama yang memicu konflik agraria, yaitu pertama, ketidaksesuaian hukum dan kebijakan yang mengatur masalah agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Kedua, lambannya dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang pada akhirnya berujung pada konflik.
Akibatnya, banyak petani dan nelayan yang kehilangan mata pencaharian dan akhirnya menjadi pengangguran. Pengangguran ini menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin di daerah-daerah terpencil seperti pedesaan yang sebagian besar adalah petani dan nelayan. Oleh karena itu, Reforma Agraria hadir untuk mengurangi ketimpangan dalam penguasaan dan kepemilikan tanah yang pada dasarnya akan memberikan harapan baru untuk perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Reforma Agraria adalah salah satu Program Prioritas Nasional dalam upaya membangun Indonesia dari pinggiran dan meningkatkan kualitas hidup; sebagaimana terkandung dalam Nawa Cita. Jika kita melihat kembali pada UU Pokok Agraria tahun 1960, ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai yakni pertama, menata ulang struktur agraria yang timpang menjadi berkeadilan. Kedua, menyelesaikan konflik agraria. Dan ketiga menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dijalankan.
Program-program yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan masyarakat desa dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Disamping itu juga akan meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara, dan tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.
Reforma agraria memiliki tiga bentuk, yaitu legalisasi aset, redistribusi tanah dan perhutanan sosial. Dalam bentuknya, reforma agraria yang ditargetkan akan dilaksanakan seluas 9 juta hektar sebagaimana Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, dalam skemanya legalisasi aset 4,5 juta hektar yang meliputi legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertipikat yaitu seluas 600.000 hektar dan legalisasi terhadap tanah-tanah yang sudah berada dalam penguasaan masyarakat seluas 3,9 juta hektar.
Untuk redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar, meliputi Hak Guna Usaha Habis, tanah terlantar dan tanah Negara lainnya seluas 400.000 hektar dan tanah-tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar. Peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam Reforma Agraria adalah memberikan aset dan akses. Dalam hal aset, Kementerian ATR/BPN menjamin kepastian hukum atas tanah yang dimiliki seperti memberikan sertipikat tanah, mempercepat pendaftaran tanah dan inventarisasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka reforma agraria yang dilakukan melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Untuk hal akses Kementerian ATR/BPN memberikan pemberdayaan terhadap infrastruktur jalan dan irigasi, termasuk prasarana pascapanen, pendidikan dan pelatihan, kredit usaha, serta pemasaran.
Dengan daya ungkitnya yang signifikan bagi pemulihan ekonomi nasional, Reforma Agraria telah menjadi salah satu piranti kebijakan Pemerintah dalam mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, hingga menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai bagian dari RPJMN 2020-2024, Reforma Agraria memiliki target hingga 9 juta hektar yang terdiri dari penataan aset dan penataan akses. Tercatat hingga bulan Oktober 2023 capaian Sertifikasi Hak Milik Tanah Transmigrasi telah seluas 140.590,72 hektar dan pendaftaran tanah atau PTSL mencapai 9.173.953 hektar.