RASA-RASANYA tidak ada momentum di negeri ini yang semeriah dan seantusias di pesta demokrasi. Semua kalangan ikut larut, masuk dalam hiruk pikuk perhelatan lima tahunan tersebut.
Dari sekira 204.807.222 pemilih yang terdaftar di KPU, 85 persen diantaranya ikut berpartisipasi. Meningkat dari tahun 2019 yang mencapai 81 persen. Kabar baiknya, milenial yang katanya abai soal politik, nyatanya mengalami peningkatan dari sisi partisipasi.
Bahkan muncul anekdot, jikalah anak-anak SD diperbolehkan memilih, mereka juga akan sangat antusias dan bersuka cita ikut Pemilu 2024. Narasi, jinggle, tagline pemilu 2024 terbukti lebih populer di kalangan mereka.
Sayangnya, ingar bingar dan sukacita pelaksanaan pemilu 2024 masih masih diwarnai oleh banyak persoalan dari sisi teknis. Sehingga narasi kecurangan yang sebetulnya muncul tiap kali pemilu digelar terasa lebih keras terdengar.
Kulminasinya, konflik pun tak bisa kita hindari. Narasi soal kecurangan didengungkan melalui saluran-saluran digital di media sosial. Lalu seolah dijadikan alasan untuk menggulirkan hak angket. Makhluk absurd yang menyimpan narasi genit soal pemakzulan presiden.
Dalam konteks demokrasi, hak angket yang disalurkan melalui DPR atau gugatan hasil pemilu melalui mahkamah konstitusi adalah sah-sah saja. Namun kebesaran hati untuk menerima kekalahan juga harus dijunjung tinggi.
Karena jika tidak, maka bukan saja para peserta pemilu secara personal yang patut dipertanyakan. Namun juga lembaga-lembaga terkait yang selama ini nimbrung dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Karena segala cara akan dilakukan untuk kepentingan politiknya. Perubahan batas usia di MK, ambang batas parlemen, hak angket, hingga money politik di tataran grass root untuk meraih dukungan konstituen.
Jika sudah begitu, maka Indonesia makin fiks menjadi negara yang menerapkan demokrasi prosedural atau apa yang disebut Tom Forrest sebagai demokrasi hollow [1993]. Istilah yang menunjukkan penampilan demokrasi yang dibuat-buat melalui adanya prosedur demokrasi seperti pemilu. Padahal nyatanya, kekuasaan [DPR, MK, KPU, Bawaslu, dll.] dipegang oleh sekelompok kecil elite yang memanipulasi demokrasi.
Disinilah pentingnya merekonstruksi sistem demokrasi kita. Tidak saja soal teknis pelaksanaan pemilu, tapi juga soal sistem, budaya dan partisipasi masyarakat sipil.
Soal sistem politik misalnya, tanpa menafikan peran penting para tokoh reformasi di tahun 1998, nampaknya kini kita membutuhkan perubahan lanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui reformasi undang-undang pemilu, memperkuat peranlembaga negara seperti KPU, Bawaslu, DKPP, serta mendorong partisipasi politik yang lebih luas dari berbagai kelompok masyarkat.
Penentuan anggota KPU, Bawaslu, DKPP, tidak lagi hanya di DPR tapi juga membutuhkan partisipasi publik dan masyarakat sipil. Jika perlu libatkan pula KPK, BPK, dan PPATK untuk memastikan integritasnya.
Tidak hanya dalam konteks penyelengara pemilu, namun sistem yang disiapkan untuk para entitas yang dihasilkan oleh pemilu; DPR, DPD, MPR, DPRD, Bupati, Walikota, Gubernur, dan Presiden-Wakil Presiden. Karena yang kita saksikan saat ini, ketika demokrasi dijalankan kita msaih melihat jauh panggang dari api.
Mulai dari bagaimana proses untuk menempati posisi-posisi tersebut, yang disebut berbiaya cukup tinggi. Lalu bagaimana posisi-posisi tersebut dijalankan, kabar tentang bagaimana aturan diotak-atik, kebijakan yang menguntungkan satu kelompok, hingga anggaran yang permainkan.
Pada akhirnya, rekonstruksi, reformasi, revolusi atau apa pun namanya untuk memperbaiki sistem demokrasi di negeri ini membutuhkan kesadaran. Tidak saja dari para pemegang kebijakan, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dari level paling atas [elite] hingga level paling bawah [rakyat kecil].
Karena upaya apa pun yang dilakukan akan percuma, jika pada akhirnya saat demokrasi dijalankan urusannya dikembalikan kepada seberapa besar fulus yang diberikan [serangan fajar]. Bangsa ini membutuhkan semacam reformasi pola hidup dalam tradisi masyarakat jepang [seikatsu keizen]. Apa dan dari manapun asalnya, entah agama, atau tadisi lokal bangsa kita.
Wirausahaan asal negeri Paman Sam, James Clear menyebutnya dengan ‘Atomic Habit’ atau semacam perubahan kecil, namun memberikan hasil yang besar. Atau tradisi shalat dalam ajaran Islam. Jika ia dijaga dan dilaksanakan dengan tepat waktu, niscaya melahirkan perubahan yang besar.
Karena seperti disinggung Yusril Ihza Mahendra saat berbicara dalam podcast ‘Total Politik’ pada Sabtu [24/2/2024], sehebat dan secanggih apa pun sistem demokrasi di negara kita dibuat, jika secara etika bangsa kita bermasalah, maka upaya membangun demokrasi akan tetap sia-sia.
Langkah-langkah ini hanya merupakan sebagian dari upaya yang diperlukan untuk merekonstruksi demokrasi di Indonesia. Penting untuk diingat bahwa proses tersebut akan memerlukan waktu, kerja keras, dan komitmen yang kuat dari semua pihak terlibat.