Di tengah lawatan Presiden terpilih Prabowo Subianto ke Tiongkok dan Jepang, proses peradilan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam waktu yang cukup pendek, hanya 14 hari, Mahkamah harus memutus tuntas perkara ini.
Syukurlah gejolak panas perkara ini lebih banyak terjadi di kanal media sosial dan media massa. Ini menjadi salah satu penanda semakin dewasanya proses berdemokrasi. Semua mempercayakan pada hukum yang berlaku. Kepercayaan publik pada MK pun berangsur membaik pasca Pemilu 14 Februari 2024.
Dari sejumlah dalil yang dibawa para pemohon, sangat kuat nuansa sengketa proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden dibanding sengketa hasil. Pada dalil sengketa hasil, para pemohon lebih menitikberatkan pada kritik atas Sistem Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Sirekap) yang digunakan sebagai alat bantu dalam Pemilu 2024 ini.
Kita sadari bersama bahwa sengketa dalam proses pemilu dan hasil pemilu adalah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi yang sehat. Di Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi sorotan penting karena munculnya berbagai sengketa baik dalam proses maupun hasilnya. Sengketa proses pemilu dan sengketa hasil pemilu memiliki perbedaan mendasar dalam karakteristiknya, tetapi keduanya memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas politik dan kepercayaan publik.
Sengketa proses pemilu terjadi antara peserta pemilu, seperti partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, atau pasangan calon, dengan penyelenggara pemilu, yang dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sengketa ini muncul sebagai akibat dari keputusan yang dikeluarkan oleh KPU, baik itu keputusan KPU pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Di sisi lain, sengketa hasil pemilu terkait dengan perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Pada Pemilu 2024, sengketa hasil pemilu menjadi perhatian utama terkait dengan Keputusan KPU 360/2024 yang menetapkan pasangan calon Prabowo-Gibran sebagai pemenang pilpres 2024. Tim hukum dari pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK pun terasa semakin penting perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan memastikan keadilan serta keabsahan hasil pemilu. MK memiliki kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk mengadili sengketa hasil pemilu pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK bersifat final dan mengikat, memainkan peran penting dalam menegakkan aturan dan menjaga keadilan dalam proses demokrasi.
Sementara itu, sengketa proses pemilu memiliki mekanisme penyelesaian yang berbeda. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu. Yang masih diperdebatkan adalah jika Bawaslu dianggap lalai dalam menyelesaikan laporan pelanggaran Pemilu apakah Mahkamah Konstitusi berhak masuk ke sengketa proses.
Bawaslu memiliki peran penting dalam melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu serta penyelesaian sengketa proses pemilu. Mereka bertugas mengidentifikasi potensi kerawanan pemilu, memediasi antara pihak-pihak yang bersengketa, dan memutuskan penyelesaian sengketa proses pemilu. Putusan Bawaslu dalam sengketa proses pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, atau penetapan pasangan calon.
Apabila penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu tidak diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, mereka dapat mengajukan gugatan ke PTUN. PTUN memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD, atau partai politik dengan KPU, baik itu terkait verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, maupun penetapan pasangan calon.
Dalam menghadapi sengketa proses pemilu dan hasil pemilu, penting untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan menggunakan sarana hukum yang tersedia. Provokasi publik tidak hanya tidak membantu menyelesaikan sengketa, tetapi juga dapat merusak stabilitas politik dan memicu ketegangan sosial.
Melalui mekanisme penyelesaian yang telah ditetapkan, diharapkan hasil pemilu dapat mencerminkan kehendak rakyat dengan adil dan transparan. Dengan demikian, sengketa dalam proses pemilu dan hasil pemilu merupakan bagian penting dalam menjaga integritas dan keadilan dalam sistem demokrasi.
Landasan hukum untuk penyelesaian sengketa pemilu tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan tersebut kemudian diturunkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK (sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2020) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 ayat (1) UU MK memuat ketentuan yang sama persis dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU MK memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadili sengketa hasil pemilu pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memegang peran penting dalam menegakkan aturan dan menjaga keadilan dalam proses demokrasi di Indonesia.
Rakyat yang sudah menentukan pilihannya tentu berharap ada keputusan yang seadil-adilnya atas PHPU ini. Indonesia harus dapat menatap masa depannya dengan kepala tegak sebagai bangsa yang bermartabat. Sisi hukum dan politik harus berjalan seiring sejalan dalam mewujudkan cita-cita Konstitusi. Keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia adalah dua sisi dari keping mata uang yang sama.