KEPUTUSAN mengejutkan datang dari Tesla. Perusahaan mobil listrik terkemuka asal Amerika Serikat ini berencana mem-PHK 10 persen tenaga kerjanya secara global.
Itu artinya, dari sekitar 140.000 karyawan, 14.000 orang diantaranya bakal angkat koper.
Keputusan ini imbas dari penjualan Tesla yang mengecewakan di akhir tahun 2023. Tesla harus menyerah kepada BYD pada kuartal terakhir tahun 2023 yang berhasil menjual 525.409 unit, sementara Tesla hanya menjual 484.507 unit.
Total, BYD berhasil menjual 3.023.579 unit pada tahun 2023. Sementara Tesla hanya mampu menjual 1.808.481 unit.
Nasib suram Tesla diperburuk oleh harga saham yang merosot sekitar 31 persen sepanjang tahun 2024.
Raihan ini masih di bawah saham produsen mobil tradisional seperti Toyota Motor dan General Motors yang masing-masing mengalami kenaikan harga saham sebesar 45 persen dan 20 persen.
Pertanyaan menariknya, kenapa tesla yang notabene merupakan pionir mobil listrik yang mendunia bisa kalah bahkan dari para produsen mobil lawas?
Jika kita menggunakan tols manajemen yang biasa digunakan perusahaan otomotif dunia terkemuka, atau konsep QCSDM [quality, cost, service, delivery, morale] kita bisa tahu apa alasan utamanya.
Praktik QCSDM sebetulnya biasa dilakukan dan telah lama berkembang di pabrik-pabrik di Jepang. Tols ini merujuk pada beberapa filosofi dalam Toyota Production System atau kita kenal juga dengan Toyota Ways.
Pertama, Quality. Tesla memang punya keunggulan dari sisi teknologi. Namun, mereka punya tantangan dalam meningkatkan produksi massal.
Kedua, Cost. Dalam jangka panjang biaya operasional mobil tesla memang lebih rendah. Tapi di awal, konsumen diharuskan mengeluarkan kocek lebih besar.
Ketiga, Delivery. Produksi yang masih terbatas dan cost yang tidak sedikit lantas berefek pada rentang waktu yang dibutuhkan untuk membawa pulang mobil Tesla, terutama model Y dan Model 3.
Keempat, Safety. Meski dikenal memiliki teknologi super canggih, namun Tesla punya celah dari sisi savety. Buktinya miliarder sekaligus CEO Foremost Group, Angela Chao tewas dalam sebuah kecelakaan di peternakan Texas saat mengendarai Tesla.
Kelima, Morale. Rencana PHK, tingginya tekanan kerja, dan ketidakpuasan para pekerja terhadap manajemen membuat Tesla secara moral ambruk. Inilah yang telak bagi Tesla, sehingga kalah dari produk lokal dan produsen lawas di Jepang, Korea Selatan dan China.
Meski begitu, Tesla tetap punya keunggulan, teknologi canggih, citra merek yang kuat, dan dedikasi terhadap inovasi. Di masa depan, dia pasti punya cara buat menyesuaikan diri.
Paling tidak, untuk kalangan tertentu Tesla tetap menjadi pilihan utama. Sama posisinya dengan Iphone yang menjadi pilihan utama bagi kalangan profesional tertentu. Sementara sebagian besar konsumen gadget lainnya beralih pada pabrikan yang lebih siap melakukan produksi massal yang lebih efisien.
