Poin Penting :
- Transformasi ke Industri Kreatif. Balai Pustaka, yang selama ini dikenal sebagai penerbit dan percetakan buku, kini merambah ke industri kreatif dengan memproduksi film, komik digital, dan gim. Langkah ini diambil untuk menghidupkan kembali kekayaan intelektual dan karya-karya sastra yang dimilikinya, menjadikannya lebih relevan dan dapat dinikmati oleh generasi milenial.
- Fokus pada Kekayaan Intelektual (IP). Menteri BUMN Erick Thohir menekankan pentingnya Balai Pustaka fokus pada IP yang sudah dimiliki, seperti cerita rakyat dan karya-karya sastra klasik Indonesia. Dengan memanfaatkan dan mengembangkan IP ini, Balai Pustaka tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menghindari persaingan dengan karya baru, sehingga dapat berkolaborasi dengan kreator konten lokal untuk memperkaya ekosistem kreatif Indonesia.
- Kolaborasi dan Inovasi. Erick Thohir menginginkan Balai Pustaka untuk terus berinovasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Telkom, Telkomsel, dan Produksi Film Negara (PFN), untuk mengembangkan konten lokal dan membangun ekosistem industri kreatif yang sehat. Kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan konten yang menarik dan relevan, serta mendukung produksi film dan konten kreatif lainnya di Indonesia.
PT Balai Pustaka (Persero), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah lama dikenal sebagai penerbit dan percetakan buku, kini sedang bertransformasi memasuki dunia industri kreatif. Transformasi ini sejalan dengan visi Menteri BUMN, Erick Thohir, yang ingin menghidupkan kembali kekayaan intelektual dan karya-karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka melalui media film dan digital. Langkah ini diharapkan dapat mengembalikan kejayaan Balai Pustaka dan mengenalkan kembali karya sastra Indonesia kepada generasi milenial.
Transformasi Balai Pustaka dimulai dengan produksi film, komik digital, hingga gim. Film pertama yang dirilis adalah “Kutukan Peti Mati,” sebuah adaptasi dari novel “Sarcophagus Onrust” karya Astryd Diana Savitri. Tidak berhenti di situ, Balai Pustaka juga merencanakan produksi film adaptasi dari karya-karya klasik seperti “Sitti Nurbaya” karya Marah Roesli, serta “Sengsara Membawa Nikmat,” “Mencari Pencuri Anak Perawan,” “Bawang Merah Bawang Putih,” “Layar Terkembang,” dan “Salah Asuhan.”
Langkah ini tidak hanya sekadar untuk menghidupkan kembali karya-karya klasik, tetapi juga untuk memperkenalkan budaya dan sastra Indonesia kepada generasi muda. Dengan mengadaptasi karya-karya tersebut ke dalam bentuk film dan media digital, diharapkan karya-karya ini akan lebih mudah diakses dan dinikmati oleh masyarakat luas, khususnya generasi milenial yang lebih akrab dengan media digital.
Erick Thohir menekankan pentingnya fokus pada kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang sudah dimiliki Balai Pustaka. IP ini mencakup cerita-cerita rakyat dan karya-karya sastra terkenal Indonesia. Contoh dari IP yang dapat diolah lebih lanjut adalah cerita rakyat seperti “Lutung Kasarung” dan “Legenda Tangkuban Perahu,” serta karya-karya sastra seperti “Siti Nurbaya” dan “Tiga Dara.”
Dengan memfokuskan pada IP yang sudah ada, Balai Pustaka tidak perlu bersaing dengan karya baru yang diciptakan oleh generasi muda, melainkan dapat berkolaborasi dengan kreator konten lokal untuk mengembangkan IP tersebut. Hal ini akan memungkinkan Balai Pustaka untuk mempertahankan relevansinya di era digital sekaligus memperkaya ekosistem kreatif Indonesia.
Menteri Erick Thohir menekankan pentingnya kesungguhan, kreativitas, inovasi, dan semangat untuk terus berkembang sebagai spirit yang harus diadopsi oleh Balai Pustaka. Direksi dan tim Balai Pustaka diharapkan dapat terus melakukan inovasi dalam memproduksi konten yang menarik dan relevan bagi generasi kekinian.
Selain itu, kolaborasi dengan perusahaan lain juga menjadi kunci dalam transformasi ini. Misalnya, Erick Thohir menginginkan agar Telkom dan Telkomsel menjadi agregator bagi konten lokal seperti film dan musik, sehingga membantu membangun ekosistem yang sehat bagi industri perfilman dan konten kreatif di Indonesia. Produksi Film Negara (PFN) juga diarahkan untuk menjadi lembaga pembiayaan film, yang akan mendanai produksi film-film Indonesia, alih-alih menjadi pesaing dalam produksi film.
Transformasi yang dilakukan Balai Pustaka menunjukkan potensi besar dalam memanfaatkan kekayaan intelektual dan teknologi digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dengan memanfaatkan IP yang sudah dimiliki dan berkolaborasi dengan kreator konten lokal, Balai Pustaka dapat menghidupkan kembali karya-karya klasik sekaligus berkontribusi pada perkembangan industri kreatif di Indonesia.
Melalui produksi film, komik digital, dan gim, Balai Pustaka tidak hanya menjaga warisan budaya dan sastra Indonesia, tetapi juga mengadaptasinya ke dalam bentuk yang lebih modern dan dapat diterima oleh generasi muda. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat posisi Balai Pustaka sebagai pelopor dalam industri penerbitan dan percetakan, tetapi juga sebagai pemain utama dalam industri kreatif nasional.
Dengan semangat inovasi dan kolaborasi, Balai Pustaka siap menghadapi tantangan di era digital dan mengembalikan kejayaannya sebagai lembaga yang berkontribusi signifikan terhadap perkembangan budaya dan sastra Indonesia. Transformasi ini merupakan bukti bahwa Balai Pustaka mampu beradaptasi dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, membawa kekayaan intelektual Indonesia ke panggung dunia.