Poin penting :
- Untuk tetap relevan di era digital, Balai Pustaka meluncurkan Balai Pustaka eBookstore (BP eStore) pada tahun 2013. Inisiatif ini memungkinkan akses mudah terhadap buku-buku Balai Pustaka melalui platform digital seperti Google Play, iOS, dan Windows, menjadikan karya-karya sastra Indonesia lebih mudah diakses oleh generasi milenial dan memastikan kelestarian budaya membaca di tengah perkembangan teknologi.
- Balai Pustaka, awalnya bernama “Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur” (KBR), didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 14 September 1908 sebagai upaya untuk mengontrol aliran informasi kritis terhadap pemerintahan kolonial. Selain itu, KBR berfungsi untuk menyalurkan hasil sastra Eropa dan mendirikan perpustakaan di sekolah-sekolah guna menyediakan bacaan yang informatif dan mendukung pendidikan.
- Pada 22 September 1917, KBR berubah nama menjadi Balai Pustaka, yang kemudian menjadi pilar penting dalam perkembangan sastra dan budaya Indonesia. Balai Pustaka menerbitkan berbagai karya penting dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah, serta mendirikan sekitar 2.800 Taman Bacaan Rakyat sebelum kemerdekaan Indonesia, memperkuat posisinya sebagai institusi yang mendukung literasi dan pendidikan.
TRANSFORMASI Balai Pustaka dari Komisi Bacaan Rakyat hingga menjadi pelopor di era digital adalah contoh nyata adaptasi dan inovasi dalam menghadapi perubahan zaman. Dari upaya untuk mengendalikan aliran informasi di masa kolonial hingga menyediakan akses mudah ke literatur di era digital, Balai Pustaka terus memainkan peran penting dalam sejarah dan perkembangan budaya Indonesia. Dengan mengadopsi teknologi modern, Balai Pustaka memastikan bahwa karya-karya sastra Indonesia tetap hidup dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang, menjadikannya lembaga yang relevan dan dinamis dalam dunia literasi.
Pada 14 September 1908, berdirilah sebuah perusahaan penerbitan dan percetakan bernama “Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Komisi Bacaan Rakyat” (KBR). Dalam perjalanannya, KBR mengalami transformasi dan dikenal hingga kini sebagai Balai Pustaka, sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia.
Pada abad ke-19, media cetak bumiputra mulai marak beredar di masyarakat. Koran-koran tersebut sering kali mengandung kritikan tajam terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Masyarakat pribumi mulai menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap penjajahan, yang tercermin dalam berbagai tulisan di koran berbahasa Melayu. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan Politik Etis dari Ratu Wilhelmina yang dianggap sebagai “Politik Balas Budi,” menambah legitimasi bagi bumiputra untuk memprotes pemerintahan kolonial melalui media cetak.
Keresahan mulai muncul di kalangan Pemerintah Hindia Belanda. Mereka sadar akan dampak negatif dari tulisan-tulisan kritis yang menyebar luas di masyarakat. Sebagai solusi, mereka mendirikan KBR sebagai upaya untuk membungkam dan mengontrol aliran informasi yang mengkritik pemerintah kolonial. Selain itu, KBR juga bertujuan menyalurkan hasil sastra Eropa agar rakyat Indonesia tidak terlalu terpapar informasi politik yang tengah berkembang.
Meski KBR didirikan dengan tujuan tertentu, tidak semua usahanya bersifat negatif. KBR mendirikan perpustakaan di setiap sekolah, menyediakan jasa peminjaman buku dengan cara yang mudah, serta mendirikan taman bacaan untuk mendukung perpustakaan tersebut. KBR menerbitkan buku-buku yang informatif dan beragam, menyasar berbagai segmen pembaca. Penulis yang ingin menyalurkan karyanya harus melalui proses penyortiran oleh Pemerintah Hindia Belanda. Melalui mekanisme ini, KBR mulai mengendalikan koran-koran yang berkembang di masyarakat, sehingga kritikan terhadap pemerintah kolonial dapat ditekan.
Pada 22 September 1917, KBR berubah nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan ini tidak hanya sekadar pergantian nama, tetapi juga memperkuat posisi dan eksistensi lembaga tersebut. Berbagai karya penulis Indonesia berhasil diterbitkan, termasuk novel terkenal seperti “Sitti Noerbaja” karya Marah Roesli. Sebelum kemerdekaan Indonesia, Balai Pustaka telah membangun sekitar 2.800 Taman Bacaan Rakyat, menjadikannya pilar penting dalam perkembangan sastra dan budaya Indonesia.
Ketika Jepang mulai menginvasi Indonesia, Balai Pustaka juga terkena dampaknya. Namanya diubah menjadi “Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku,” tetapi tetap berfungsi dan menghasilkan sejumlah karya. Setelah Indonesia merdeka, Balai Pustaka sempat kembali ke tangan Belanda pada Juli 1947 ketika Belanda berusaha menguasai Indonesia lagi. Namun, pada 1949, setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Balai Pustaka dikembalikan ke pemerintahan Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Balai Pustaka terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Pada tahun 2013, Balai Pustaka meluncurkan Balai Pustaka eBookstore atau BP eStore. Inisiatif ini merupakan respons terhadap tuntutan era digital, bertujuan untuk memudahkan akses generasi milenial terhadap buku-buku dan budaya membaca. Buku-buku dari Balai Pustaka kini tersedia dan dapat diunduh secara gratis melalui Google Play, serta tersedia dalam versi iOS dan Windows.
Langkah digitalisasi ini tidak hanya mempertahankan relevansi Balai Pustaka di tengah perkembangan teknologi, tetapi juga memastikan bahwa karya-karya sastra Indonesia tetap dapat diakses oleh semua kalangan. Dengan adanya BP eStore, Balai Pustaka berhasil menjembatani kebutuhan literasi masyarakat modern sekaligus melestarikan kekayaan intelektual dan budaya bangsa.