Poin Penting:
- PLN berkomitmen mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 melalui transisi energi berbasis energi terbarukan.
- Dalam IISF 2024, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya kolaborasi global untuk memastikan transisi energi yang adil.
- PLN menerapkan RUPTL terhijau dengan target 52% energi terbarukan dan mempercepat pembangunan infrastruktur kendaraan listrik.
DI BALIK janji ambisius berbagai negara untuk mencapai target emisi nol pada pertengahan abad ini, terdapat realitas yang berbeda di lapangan. Investigasi terbaru mengungkap bahwa meskipun banyak negara telah berkomitmen untuk memangkas emisi karbon, langkah-langkah konkret yang diambil sering kali tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Beberapa negara, seperti Jerman dan Inggris, yang dipandang sebagai pelopor energi bersih, masih bergantung pada bahan bakar fosil dalam skala besar, sementara investasi dalam energi terbarukan belum mencapai harapan. Sementara itu, negara-negara berkembang menghadapi dilema antara memenuhi kebutuhan ekonomi dan menurunkan emisi karbon.
Indonesia, sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia, juga mengalami tantangan yang serupa. PT PLN (Persero), sebagai perusahaan listrik nasional, telah berkomitmen mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Namun, perjalanan menuju tujuan ini penuh dengan tantangan, mulai dari ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batu bara hingga pengembangan energi terbarukan yang masih terbatas. Bagaimana posisi Indonesia dalam pencapaian target ini, dan langkah-langkah apa yang telah diambil PLN?
Pada Kamis, 5 September 2024, Indonesia International Sustainability Forum (IISF) digelar di Jakarta Convention Center dan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Dalam acara tersebut, PLN memaparkan komitmennya untuk transisi energi dalam mencapai NZE pada 2060 di hadapan para delegasi dunia. Presiden Joko Widodo dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi global dalam menghadapi perubahan iklim, terutama antara negara maju dan berkembang. Pendekatan yang berperikemanusiaan juga diperlukan agar transisi energi berjalan adil tanpa membebani rakyat kecil. “Untuk menyelesaikannya (transisi energi) butuh pendekatan yang kolaboratif, butuh pendekatan yang berperikemanusiaan, dan kolaborasi antara negara maju dan berkembang serta kemanusiaan agar prosesnya tidak mengorbankan kepentingan rakyat kecil,” tegas Presiden.
Komitmen PLN dalam menghadapi tantangan ini disampaikan oleh Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, yang menegaskan bahwa transisi energi akan berpegang pada trilema energi, yakni keandalan, keterjangkauan, dan keberlanjutan. PLN tak hanya fokus pada penyediaan listrik, namun juga memastikan bahwa energi yang disalurkan aman, bersih, terjangkau, dan berkelanjutan. Darmawan juga menekankan bahwa perubahan iklim merupakan masalah global yang memerlukan solusi kolaboratif di berbagai bidang, mulai dari strategi, inovasi teknologi, hingga investasi bersama.
Selain itu, PLN sedang dalam proses transformasi yang lebih agresif melalui program Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik dengan proporsi 75 persen berbasis energi terbarukan dan 25 persen berbasis gas. Hal ini merupakan bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang disebut sebagai RUPTL terhijau sepanjang sejarah PLN dan Indonesia, di mana 52 persen pembangkitnya berasal dari energi baru terbarukan (EBT). PLN juga mengumumkan rencana untuk merancang kembali RUPTL ini agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan transisi energi.
Namun, perjalanan Indonesia menuju emisi nol menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Salah satu kendala utama adalah pendanaan. Pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang memadai memerlukan investasi besar, sementara PLN harus bermitra dengan berbagai pihak, baik domestik maupun internasional, untuk mendapatkan teknologi dan pendanaan yang diperlukan. Selain itu, tantangan geografis Indonesia yang tersebar di berbagai pulau membuat distribusi energi terbarukan menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan negara lain yang memiliki infrastruktur lebih terpusat.
Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN, Wiluyo Kusdwiharto, menegaskan bahwa kolaborasi global sangat krusial dalam memecahkan tantangan transisi energi. Salah satu tantangan utama adalah intermitensi listrik dari EBT yang bisa mempengaruhi keandalan pasokan listrik. Selain itu, terdapat pula kesenjangan antara lokasi sumber energi EBT di daerah terpencil dan pusat permintaan listrik di perkotaan. Untuk mengatasi ini, PLN telah menjalin kerja sama dengan berbagai negara dan investor untuk mempercepat transisi energi.
Selain tantangan teknis, regulasi yang belum konsisten juga menjadi penghambat bagi PLN dalam mempercepat transisi energi. Kebijakan pemerintah yang sering berubah dan kurangnya kepastian dalam regulasi energi terbarukan bisa memperlambat investasi dalam sektor ini. Oleh karena itu, PLN membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah agar regulasi yang ada dapat mendukung percepatan transisi energi. Dalam hal ini, peran serta dari pihak swasta dan masyarakat juga sangat penting, terutama dalam meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap penggunaan energi terbarukan.
Acara IISF 2024 menjadi momentum bagi PLN untuk mempertegas komitmennya dalam mencapai NZE. PLN juga berencana memperluas elektrifikasi di sektor transportasi dengan mempercepat pembangunan infrastruktur kendaraan listrik dan stasiun pengisian daya di seluruh negeri. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mempromosikan kendaraan listrik sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Kolaborasi dengan berbagai pihak, baik lokal maupun internasional, akan menjadi kunci utama dalam mewujudkan target ini.
Dengan berbagai langkah yang telah diambil, PLN berada di jalur yang tepat untuk mencapai target NZE pada tahun 2060. Namun, keberhasilan dalam mewujudkan hal ini tidak hanya bergantung pada PLN semata, melainkan juga pada kolaborasi global, kebijakan yang mendukung, dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat. Indonesia bisa belajar dari negara-negara seperti Norwegia dan Islandia yang telah mendekati target emisi nol dengan kombinasi investasi besar dalam energi terbarukan, dukungan kebijakan yang kuat, dan kesadaran masyarakat yang tinggi.
Kesimpulannya, transisi energi menuju emisi nol di Indonesia merupakan tantangan besar, namun tidak mustahil dicapai. PLN telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mendukung upaya ini dengan berbagai inisiatif dan program yang dirancang untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan. Dengan dukungan penuh dari semua pihak, Indonesia berpeluang menjadi salah satu negara yang sukses dalam transisi energi bersih di masa depan.