Poin penting :
- Peningkatan Belanja Perpajakan dan Alokasi Sumber Daya: Pada tahun anggaran 2023, belanja perpajakan Indonesia mencapai Rp362,5 triliun, meningkat 6,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Belanja ini dialokasikan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, pengembangan UMKM, peningkatan iklim investasi, dan mendukung dunia bisnis, yang secara keseluruhan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
- Dominasi Sumber Pajak Utama: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi kontributor terbesar dengan sekitar 58 persen dari total setoran pajak, diikuti oleh Pajak Penghasilan (PPh) yang menyumbang sekitar 35,8 persen. Meskipun bea masuk, cukai, dan pajak bumi dan bangunan memiliki kontribusi lebih kecil, mereka tetap memberikan andil dalam penerimaan negara.
- Transparansi dan Evaluasi Kebijakan Fiskal: Indonesia memperoleh peringkat kedua dalam indeks transparansi belanja perpajakan global, yang mencerminkan komitmen pemerintah untuk memastikan alokasi pajak dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Laporan belanja perpajakan juga digunakan sebagai dasar untuk evaluasi kebijakan insentif perpajakan dan perumusan kebijakan fiskal yang lebih efektif di masa depan.
BELANJA perpajakan adalah instrumen yang digunakan pemerintah untuk mengalihkan sumber daya kepada masyarakat, bukan melalui bantuan langsung atau belanja negara, tetapi melalui pengurangan kewajiban pajak yang mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku. OECD menggambarkan bahwa belanja perpajakan merupakan salah satu bentuk kebijakan fiskal yang penting dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, belanja perpajakan mengalami peningkatan signifikan pada tahun anggaran 2023, yang menjadi indikator penting dalam memahami arah kebijakan fiskal negara.
Dalam laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tentang belanja perpajakan 2023, tercatat angka Rp362,5 triliun, yang setara dengan 1,73 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini mengalami kenaikan 6,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp341,1 triliun atau 1,74 persen dari PDB. Menurut Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, belanja perpajakan ini memiliki fundamental yang sangat penting, karena pajak adalah instrumen utama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya pengurangan kewajiban pajak yang ditujukan untuk mendukung berbagai sektor kehidupan menjadi strategi penting dalam memajukan perekonomian Indonesia.
Berdasarkan jenis pajak yang ada, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) menjadi kontributor terbesar dalam total setoran pajak dengan angka yang diperkirakan mencapai Rp210,2 triliun atau sekitar 58 persen dari total setoran pajak. Selanjutnya, pajak penghasilan (PPh) menyumbang sekitar Rp129,8 triliun atau 35,8 persen dari total setoran pajak yang ada. Sementara itu, bea masuk dan cukai diperkirakan mencapai Rp21,4 triliun atau 5,9 persen, sedangkan pajak bumi dan bangunan hanya menyumbang 0,2 persen, yaitu sekitar Rp700 miliar. Meskipun kontribusi pajak bumi dan bangunan serta bea meterai terbilang kecil, namun pajak-pajak tersebut tetap memberikan andil dalam mendukung anggaran negara.
Yang lebih menarik, belanja perpajakan Indonesia tidak hanya berfokus pada penerimaan negara, tetapi juga dialokasikan untuk berbagai sektor penting guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Laporan Kemenkeu menyebutkan bahwa sekitar 46,7 persen dari total belanja perpajakan, atau Rp169,1 triliun, digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sektor yang juga mendapatkan perhatian adalah pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memperoleh sekitar Rp85,4 triliun atau 23,6 persen dari total belanja perpajakan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha untuk mendorong sektor-sektor yang dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Investasi juga menjadi fokus penting dalam belanja perpajakan ini, dengan alokasi Rp61,2 triliun atau 16,9 persen untuk meningkatkan iklim investasi. Keberlanjutan dunia usaha dan iklim investasi yang sehat sangat dibutuhkan untuk menarik minat investor, baik lokal maupun internasional, dalam menciptakan lapangan kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sebesar 12,9 persen dari total belanja perpajakan, yaitu Rp46,8 triliun, dialokasikan untuk mendukung dunia bisnis agar dapat beroperasi lebih efisien dan menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar global.
Laporan belanja perpajakan Indonesia tidak hanya menjadi alat evaluasi pemerintah dalam menilai efektivitas insentif perpajakan, tetapi juga berfungsi sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran. Melalui laporan ini, pemerintah dapat menilai dampak dari setiap insentif yang diberikan dan melakukan penyesuaian kebijakan untuk memastikan agar insentif tersebut dapat benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dari sisi transparansi, Indonesia menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI) pada Desember 2024, Indonesia berada pada peringkat kedua dari 105 negara yang dinilai dalam hal transparansi belanja perpajakan. Peringkat ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk memastikan bahwa alokasi belanja perpajakan dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Hal ini penting agar masyarakat dapat mengawasi dan memahami penggunaan sumber daya yang berasal dari pajak mereka, serta memberikan kepercayaan kepada pemerintah bahwa dana pajak digunakan secara efektif dan efisien.
Secara keseluruhan, laporan belanja perpajakan Indonesia untuk tahun anggaran 2023 menggambarkan bahwa kebijakan fiskal yang berbasis pada pengurangan kewajiban pajak berfokus pada pencapaian kesejahteraan masyarakat, pengembangan sektor UMKM, dan peningkatan iklim investasi. Selain itu, transparansi yang tinggi dalam pengelolaan belanja perpajakan menciptakan dasar yang kuat untuk kebijakan fiskal yang lebih baik ke depannya. Pemerintah diharapkan terus memperbaiki efektivitas kebijakan ini agar dapat menciptakan perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan, serta dapat mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.