Poin Penting:
- Modus Tawaran Kerja Palsu:
WNI dijebak dengan tawaran kerja bergaji besar di industri judi dan penipuan daring di Kamboja. - Lonjakan Kasus Drastis:
Sebanyak 77% dari 2.321 kasus hukum WNI di Kamboja pada 2023 terkait penipuan daring. - Solusi Mendesak:
Pentingnya literasi digital, koordinasi antarinstansi, dan menciptakan lapangan kerja dalam negeri untuk mencegah tragedi berulang.
Penipuan daring ini bukan cerita sinetron yang bisa ditebak akhir episodenya. Ini tragedi bangsa yang berulang-ulang seperti radio rusak. Orang kita sudah banyak yang jadi korban, tapi entah kenapa seperti kerbau dicucuk hidung, tetap saja jalan ke jebakan yang sama. Kali ini panggungnya ada di Kamboja. Negeri yang namanya terdengar eksotis, tapi nyatanya di balik itu ada perangkap yang menganga lebar. Kata Kemlu RI, dari 2.321 kasus hukum yang menjerat WNI di sana, 1.761 di antaranya adalah kasus penipuan daring. Tujuh puluh tujuh persen! Itu kalau diibaratkan sepak bola, sudah skor telak.
Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Judha Nugraha, bilang banyak WNI yang pergi ke Kamboja atas keinginan sendiri. Bukan diculik atau dihipnotis, melainkan sukarela, dengan hati berbunga-bunga membayangkan gaji besar. Bandarnya pun tidak malu-malu lagi. Kalau dulu tawaran kerjanya malu-malu kucing, sekarang terang-terangan seperti pedagang pasar yang menjajakan pisang kepok. Dengan modal janji manis ala sales mobil bekas, mereka menawarkan pekerjaan sebagai pengelola penipuan daring. Bayarannya menggiurkan, tapi hadiahnya nanti bisa satu paket dengan borgol dan jeruji besi.
Tapi siapa yang peduli? Di negara sendiri, cari kerja sudah seperti lomba lari di tempat. Tawaran dengan dolar bergelimang di negeri orang jelas lebih menarik. Modalnya hanya sedikit literasi digital – itu pun setipis kulit tahu – dan selebihnya kebodohan yang dipoles harapan. Begitu mendarat di Kamboja, barulah tahu bahwa surga yang dijanjikan itu ternyata kantor penipuan yang penuh dengan komputer murahan dan wajah-wajah penuh kekhawatiran. Tugas mereka sederhana: menipu orang lain. Menipu dengan investasi bodong, menjalin cinta palsu untuk memeras korban, atau mengais-ngais data pribadi dengan cara licik. Pokoknya, segala trik kejahatan modern yang bikin pusing kepala intelijen.
Bagi yang sudah mulai sadar bahwa ini pekerjaan berbahaya, mereka mencoba mundur perlahan. Tapi, hei, ini bukan restoran yang bisa keluar tanpa membayar! Bandar penipuan itu bukan guru pramuka yang ramah, tapi preman berotot yang siap menempeleng siapa saja yang berani mundur. Banyak yang diancam, disekap, atau kalau sedang apes, dipaksa kerja sambil diiringi sumpah-serapah dan kepalan tangan.
Jumlah WNI yang melapor ke KBRI Phnom Penh pun naik tajam, dari 2.332 pada 2020 menjadi 17.212 di 2023. Lonjakannya sampai 638 persen! Kalau ini saham, pasti sudah pada kaya mendadak. Tapi sayangnya, ini bukan saham, ini tragedi kemanusiaan. Yang bikin kening berkerut, menurut data imigrasi Kamboja, ada 123.000 WNI yang datang ke negara itu sampai September 2024. Tapi hanya 89.000 yang tercatat punya izin tinggal. Sisanya? Entah ada di mana, seperti sandiwara hilang tanpa jejak.
Akibatnya? Ya tentu saja kacau balau. Ribuan WNI tersangkut kasus hukum, nama bangsa tercoreng, dan kerugian finansial yang tidak ada ujung pangkalnya. Mau marah sama siapa? Mau menangis pun percuma, air mata tidak akan memadamkan kebakaran ini. Yang pulang ke tanah air membawa beban psikologis, malu sama tetangga, dan diolok-olok keluarga sendiri. Begitulah, dalam dunia tipu-menipu ini, hanya penipu yang menang, sementara si tertipu harus menelan pahit.
Tapi jangan buru-buru menggigit jari. Masih ada harapan kalau kita mau kerja keras. Literasi digital itu penting, bukan cuma sekadar bisa unggah foto ke Instagram. Harus bisa membedakan mana tawaran kerja asli, mana jebakan Batman. Pemerintah juga jangan tidur siang terlalu lama. Koordinasi antarinstansi itu harus seperti orkestra, bukan seperti gamelan rusak. Kalau mau menindak, jangan setengah hati, apalagi cuma pencitraan.
Dan kita sebagai bangsa jangan sampai jadi budak teknologi. Pegang kendali, bukan malah dikendalikan. Asah logika, jangan sampai akal sehat tumpul seperti pisau dapur. Membangun keteladanan juga penting. Kalau pemimpinnya sudah jujur dan cerdas, mudah-mudahan rakyatnya ikut-ikutan. Karena kalau tidak, penipuan daring ini akan terus seperti lagu lama yang diputar ulang: membosankan, menyedihkan, dan bikin kesal setengah mati.
