Di sebuah pertemuan tertutup awal tahun ini, para penasihat ekonomi China duduk dengan wajah serius di hadapan Presiden Xi Jinping. Mereka membawa laporan yang penuh dengan angka dan proyeksi suram tentang ancaman deflasi yang mengintai perekonomian China. Namun, dengan ekspresi tenang, Xi justru melemparkan pertanyaan yang membuat ruangan itu hening sejenak: “Apa yang buruk dari deflasi? Bukankah orang-orang senang jika harga-harga menjadi lebih murah?” Sebuah pertanyaan sederhana namun mencerminkan optimisme yang kontras dengan kekhawatiran di kalangan ekonom.
Bagi Xi, deflasi tampaknya bukan ancaman yang mendesak. Konsumen mungkin akan menikmati penurunan harga, tetapi di balik itu, ada dampak yang lebih dalam: penurunan belanja, lesunya investasi, hingga melambatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, optimisme Xi masih bertahan, meskipun tanda-tanda pelemahan ekonomi semakin nyata.
Bank Dunia baru-baru ini menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 4,9 persen untuk tahun ini, naik sedikit dari prediksi sebelumnya di angka 4,8 persen. Namun, di balik proyeksi positif ini, mereka juga memberikan peringatan tegas. Lemahnya kepercayaan konsumen, krisis properti yang belum selesai, dan potensi kenaikan tarif dari Amerika Serikat masih menjadi ancaman serius bagi pemulihan ekonomi China.
Mara Warwick, Direktur Bank Dunia untuk China, menegaskan bahwa pemulihan ekonomi China memerlukan lebih dari sekadar pertumbuhan jangka pendek. Reformasi struktural, penguatan jaring pengaman sosial, dan perbaikan sistem keuangan pemerintah daerah adalah kunci utama. Di sisi lain, pemerintah China tampaknya memilih jalur yang lebih moderat dengan kebijakan fiskal yang lebih fleksibel, termasuk rencana penerbitan obligasi negara senilai $411 miliar pada tahun depan.
Namun, apakah semua ini cukup untuk membalikkan keadaan? Banyak pihak masih skeptis. Krisis properti telah menggerogoti fondasi ekonomi China, di mana sektor ini menyumbang sekitar 30 persen dari total PDB. Harga rumah yang merosot membuat banyak keluarga China merasa lebih miskin, yang pada akhirnya memengaruhi daya beli mereka. Ini adalah siklus yang sulit diputus jika tidak ada kebijakan drastis dan inovatif dari Beijing.
Di tengah situasi ini, Xi Jinping tampaknya masih percaya pada stabilitas dan ketahanan ekonomi China. Target pertumbuhan “sekitar 5 persen” untuk tahun ini tetap dipertahankan, meski banyak analis menilai angka tersebut cukup ambisius di tengah kondisi global yang tidak menentu dan tekanan ekonomi domestik yang terus meningkat.
Optimisme Xi bukan tanpa dasar. Dalam beberapa bulan terakhir, sektor ekspor China menunjukkan tanda-tanda pemulihan, sebagian besar didorong oleh pelonggaran kebijakan yang diambil pemerintah. Namun, apakah ini cukup untuk menjaga ekonomi tetap bertahan di jalurnya? Jawabannya masih samar.
China kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk mendorong konsumsi domestik dan memulihkan sektor properti. Di sisi lain, reformasi struktural jangka panjang yang lebih menyeluruh harus segera dilakukan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Bagi Xi Jinping, menjaga stabilitas sosial dan ekonomi adalah prioritas utama. Deflasi mungkin tampak seperti masalah sekunder di mata sang pemimpin, tetapi bagi banyak ekonom dan investor global, ini adalah bom waktu yang siap meledak jika tidak ditangani dengan cepat.
Pada akhirnya, apakah optimisme Xi akan terbukti benar atau justru menjadi bumerang bagi perekonomian China? Dunia kini menatap ke arah Beijing, menunggu bagaimana strategi Xi dan tim ekonominya menghadapi tantangan yang ada. Yang pasti, keputusan-keputusan yang diambil dalam beberapa bulan mendatang akan menentukan arah masa depan ekonomi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini.