Connect with us

Hi, what are you looking for?

Perspektif

Harapan Eropa Untuk Suriah Baru

ilustrasi

Menara-menara di pusat kota Damaskus berdiri suram, memandangi puing-puing bangunan yang luluh lantak akibat konflik bertahun-tahun. Dinding-dinding berlubang peluru dan jalanan berdebu tak lagi ramai oleh hiruk-pikuk pedagang.

Di tengah panorama kelabu ini, kedatangan Menteri Luar Negeri Jerman dan Prancis membawa nuansa baru. Semacam optimisme yang merayap perlahan di balik sisa-sisa kehancuran. Mereka datang dengan tekad untuk menjalin hubungan dengan kepemimpinan de facto Suriah, menorehkan babak penting dalam upaya memutus mata rantai kekerasan dan represi yang pernah merundung negeri ini.

Pada pertemuan perdana yang berlangsung di ibu kota Suriah, Menteri Luar Negeri Jerman berharap sambutan hangat dari pemimpin baru negeri tersebut. Ia datang dengan penuh determinasi, menggandeng harapan bagi masa depan Suriah yang lebih adil. Namun, kesejukan diplomasi Eropa seolah masih terbentur tembok dingin ketidakpastian. Walau begitu, menteri tersebut tak gentar menekankan bahwa Suriah mesti dipimpin untuk semua warga, tanpa pandang suku, agama, atau latar belakang politik.

Momen ini memang menjadi tonggak baru, sebab Uni Erop lewat Jerman dan Prancis berusaha mendorong pemutusan total dari warisan rezim Assad. Tak dapat dimungkiri, membangun Suriah di atas puing-puing historis bukan perkara mudah. Warisan kengerian masih membekas di penjara-penjara seperti Sednaya, tempat banyak tahanan politik menanggung siksaan tak terperi.

Menteri Luar Negeri Jerman bahkan menyempatkan diri datang ke penjara ini, menegaskan bahwa keadilan untuk korban masa lalu tidak boleh dihapus dari memori kolektif bangsa. Langkah ini sekaligus menegaskan bahwa rekonsiliasi tak akan bermakna tanpa upaya sungguh-sungguh memulihkan martabat yang pernah direnggut.

Sementara itu, masyarakat sipil Suriah mengapresiasi upaya moderat yang ditunjukkan kepemimpinan de facto baru, tetapi masih menyimpan kecemasan. Bukan sekali dua kali mereka mendengar retorika reformasi yang ujungnya nihil tindakan konkrit. Bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang represi membuat mereka skeptis akan perubahan instan. Namun, setidaknya ada secercah harapan: jika Eropa aktif menjadi mitra kritis, mungkin kepemimpinan Suriah baru ini terdorong untuk benar-benar menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.

Tantangan lain yang turut mengadang adalah bagaimana Uni Eropa akan memainkan perannya. Suriah jelas membutuhkan bantuan dana untuk membangun kembali infrastruktur yang hancur dan memulihkan perekonomian yang ambruk. Di sisi lain, pemberian bantuan semata tanpa persyaratan reformasi ibarat membiarkan sejarah berulang—memperkuat aktor yang tidak benar-benar pro-rakyat. Uni Eropa juga perlu berhati-hati agar politik kompromi tidak justru meruntuhkan prinsip utama mereka, yaitu perlindungan hak asasi manusia. Mencari jalan tengah antara kebutuhan rekonstruksi dan penegakan keadilan bagi korban menjadi tugas berat yang memerlukan koordinasi lintas negara.

Di balik semua kekhawatiran itu, keteguhan untuk menggenggam peluang perdamaian menjadi nilai positif yang patut disorot. Menteri Luar Negeri Jerman tidak menampik bahwa tantangan Suriah sangat kompleks. Namun, lewat kunjungan dan diskusi intensif, ia mencoba menumbuhkan kepercayaan bahwa Suriah masih bisa bangkit dari reruntuhan konflik berkepanjangan.

Jika kepemimpinan de facto baru sungguh-sungguh membuka diri bagi semua lapisan masyarakat dan menyerap aspirasi beragam kelompok, rekonsiliasi nasional bukanlah mimpi utopis. Pada akhirnya, tanggung jawab terbesar tetap berada di pundak mereka yang kini memegang kekuasaan. Mampukah mereka menulis ulang sejarah Suriah tanpa mengulangi lembar-lembar kelam di masa silam?

Bagi dunia internasional, momen ini memunculkan tanda tanya sekaligus antusiasme: akankah Suriah benar-benar memanfaatkan dorongan Eropa untuk menata ulang tatanan negerinya? Ketika negara-negara kuat hendak melibatkan diri, Suriah memiliki kesempatan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih adil. Jika langkah menuju keterbukaan ini berlanjut, maka jalan panjang menuju perdamaian bisa sedikit lebih terang.

Perjalanan ini tentu tidak sederhana, namun keberanian untuk bergerak maju adalah kunci yang membuka kesempatan Suriah untuk bangkit. Tinggal menunggu, seberapa jauh kolaborasi Uni Eropa dan Suriah akan menegaskan komitmen pada hak asasi manusia, perdamaian, dan masa depan yang sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Menarik dinanti, apakah diplomasi Eropa dan moderasi Suriah akan saling mengisi dan menciptakan kemajuan nyata. Lebih dari sekadar pertemuan simbolik, ini adalah tentang membangun pondasi baru yang kokoh tentang menjemput Suriah baru yang lahir dari derita, tetapi tidak lagi tunduk pada mimpi buruk masa lalu.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Perspektif

India, melalui Kebijakan Pendidikan Nasional 2020, tampak lebih progresif dalam memperkenalkan perubahan yang berorientasi pada pengembangan holistik dan berbasis pengalaman.