REDAKSI

MONDAYREVIEW.COM - Sejarah kepimpinan PSSI sejak era reformasi tidak pernah lepas dari kontroversi. Terhitung, dalam sepuluh tahun terakhir perjalanan sepakbola Indonesia kepemimpinan Ketua Umum (Ketum) PSSI dihuni oleh profil dari pelbagai macam latar belakang. Nurdin Halid yang menjabat dari 2003 hingga 2011 memiliki latar belakang sebagai politisi. Kemudian di lanjutkan Djohar Arifin 2011-2015 yang lama berkecimpung di korps wasit.

Habis periode Djohar, La Nyalla Mattalitti menjadi Ketum PSSI pada 2015-2016, masa jabatannya tidak tuntas karena FIFA keburu mem-banned PSSI pimpinan La Nyalla atas rekomendasi dari Imam Nahrawi Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu. La Nyalla merupakan politisi yang karier politiknya lebih menonjol sebagai ketua ormas.

Setelah dibebaskan dari sanksi FIFA, Ketua Umum PSSI kemudian dipimpin oleh Edy Rahmayadi, yang berasal dari kalangan militer. Setelah terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara, kursi PSSI lalu beralih kepada Mochamad Iriawan atau Iwan Bule, mantan Kapolda Metro Jaya. Kepemimpinan Iwan Bule yang sudah berlangsung sejak 2019 akan segera berganti. Iwan memilih untuk tidak mencalonkan diri kembali pada Kongres Luar Biasa (KLB) yang sedianya akan dihelat pada 16 Februari 2023.

Dari semua periode kepemimpinan tokoh-tokoh dari pelbagai latar tersebut, tim nasional Indonesia sebagai gambaran dari tolok ukur kesuksesan sebuah rezim, tidak kunjung berprestasi. Malah lebih banyak bergulat pada polemik. Mafia bola, pengaturan skor, kerusuhan supporter masih sering terdengar, bahkan terakhir tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu yang menyebabkan 135 orang tewas begitu menyedot atensi publik sepakbola internasional. Sebuah peristiwa kelam yang belum dapat diungkap sebab para pelakunya belum juga diadili.

Namun, seluruh episode kelam itu harus segera digantikan, masyarakat Indonesia sudah sangat merindukan prestasi dari tim merah putih. Jika tak ada aral melintang, PSSI akan memasuki era baru. Sebuah era di mana seorang profesional yang paham betul akan manajerial dan kepemimpinan.

Dari lima calon yang lolos verifikasi dokumen Komite Pemilihan PSSI, Erick Thohir, La Nyalla Mahmud Mattalitti, Arief Putra Wicaksono, Doni Setiabudi, dan Fary Djemie Francis. Nama Menteri BUMN Erick Thohir berada di posisi terdepan untuk menduduki PSSI 1. Erick memiliki semua syarat sebagai orang yang akan membawa sepakbola Indonesia ke tahapan lebih maju.

Dalam sebuah diskusi ‘Kopi Pahit’ bertemakan ‘Transformasi PSSI Bernyali’ yang diselenggarakan oleh Monday Media Group. Budi Setiawan dari Football Insitute menilai sosok Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI berada di waktu yang tepat. Menurut Budi, Erick sangat paham akan sepakbola, pengalamannya berkecimpung di sepakbola nasional dimulai tatkala menjadi bagian dari konsorsium Persib Bandung ketika memasuki era professional, lepas dari ketergantungan dana APBD.

Kemampuan dan pengalaman Erick melampaui yang sudah ditetapkan FIFA dan PSSI sebagai ‘orang bola’, “Dia sudah world wide,” kata Budi Setiawan. Dirinya menambahkan banyak harapan dari masyarakat kepada Erick Thohir. Ini bisa dilihat ketika ET mendaftar secara resmi sebagai calon Ketua Umum PSSI beberapa waktu yang lalu.

Kehadiran mantan Presiden Inter Milan itu ke kompleks Senayan didampingi pesohor antara lain Raffi Ahmad yang tercatat sebagai owner klub Rans Nusantara, Kaesang Pangarep pemilik saham Persis Solo, dan Atta Halilintar pemilik Bekasi FC. Mereka adalah tokoh-tokoh muda yang ikut bergabung ke industri sepakbola atas dorongan Erick Thohir.

Erick Thohir datang membawa harapan. Dia mengaku bernyali, maka untuk membersihkan PSSI dari tangan-tangan kotor tidak saja dibutuhkan profesionalisme, pengalaman, dan kecakapan manajerial. Harus juga punya nyali.

Calon Ketua Umum PSSI yang lain, Fary Djemie Francis dalam diskusi yang sama mengatakan sepakbola harus ditopang oleh nilai-nilai industri dan kemanusiaan. Ketua Umum Indonesia Footbal Forever itu sudah memiliki blueprint yang akan menghasilkan generasi emas sepakbola Indonesia yang diharapkannya bisa berkancah di Piala Dunia 2030. Fary memiliki pengalaman sebagai Ketua Departemen Sport Intelligent PSSI di masa kepemimpinan Edy Rahmayadi.

Dari kacamatanya, Fary menuturkan perkembangan sepakbola sekarang sangat berbeda dengan apa yang terjadi di era sebelum internet mewabah seperti sekarang. Dulu prestasi sepakbola amat ditentukan oleh talent, struktur kompetisi di suatu negara. Namun, di era 4.0 ini prestasi sepakbola ditentukan oleh nilai-nilai industri dan kemanusiaan yang disebarkan oleh digitalisasi.

“Saya mendorong bagaimana pencetakan generasi emas Indonesia, karena itu penting pendekatan prestasi dengan pendekatan football 4.0. Apa yang saya sampaikan saat itu, sepakbola sudah dikuasai mafia. Sudah tidak lagi memikirkan bagaimana membuat prestasi sepakbola dengan nilai industri dan kemanusiaan,” tutur Fary.

Fary mengungkapkan, jika saja dirinya tidak terpilih sebagai Ketum PSSI, maka orang yang paling tepat untuk menduduki jabatan tersebut tidak lain adalah sosok Erick Thohir. Alasannya, Erick memiliki kinerja dan keberanian, ini terlihat dari caranya menyelesaikan sengkarut kasus ASABRI. Lembaga di mana Fary yang kini menjabat sebagai Komisaris Utamanya.

“Saya tahu persis bagaimana cara-cara kerjanya, dan menyelesaikan suatu permasalahan. Apalagi kalau bicara sepakbola, Pak Erick punya pengalaman yang luar biasa. Di era 4.0 ini tidak perlu lagi kita ragukan Pak Erick. Dia pernah lama berkecimpung di sepakbola modern di Eropa dsB,” ujar Fary.

Lain dari itu, menurut Fary, mantan Ketua KOI itu punya kapasitas untuk bisa mengembangkan sepakbola dengan kekhasan, digitalisasi yang mampu mentransformasi sepakbola ke arah yang lebih modern, dan juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan dengan konteks lokal.

Muchlas Rowi Mantan Sekjen Asprov PSSI DKI Jakarta 2015-2016 juga sepakat, Erick Thohir adalah figure yang pas. Muchlas mengaku pada awalnya sudah sangat apatis dengan kondisi persepakbolaan tanah air. Namun, kemunculan Erick Thohir di bursa Ketum kali ini membawa angin perubahan.

Diungkapkan Muchlas, pekerjaan rumah PSSI sangat banyak, salah satunya adalah infrastruktur sepakbola yang kurang memadai. Sampai saat ini tim nasional Indonesia bahkan tidak memiliki lapangan latihan sendiri. Keberadaan infrastruktur ini amat krusial dalam pengembangan talenta pemain sepakbola.

Muchlas menambahkan regenerasi kepemimpinan nanti perlu juga didukung oleh komite eksekutif (Exco) PSSI yang mumpuni, yang bersih dari dosa masa lalu.

“Kita perlu orang yang bernyali. Semua itu dimulai dengan kepemimpinan tetapi kepemimpinan harus didorong oleh tim. Ini yang jadi masalah nanti Exco-nya, kalau exco-nya nanti kemudian tidak ada darah segar itu yang saya khawatir. Apalagi kemarin kebijakannya aneh-aneh, tidak ada promosi-degradasi,” jelas Muchlas.

Terakhir, Muchlas mengatakan akan tetap mendorong Erick supaya mengambil alih pucuk kepemimpinan PSSI. Kesuksesan Erick saat di Komite Olimpiade Indonesia sudah membawa dampak signifikan. Sekarang dengan pengalaman dan koneksi internasional, ditambah manajerial, Erick menjadi figure yang berani mengambil eksekusi untuk mebawa sepakbola Indonesia sebagai

 

Baca Juga
Member of Monday Media Group.
Copyright © 2021 MondayReview .
All rights reserved.
Privacy Policy | Contact