Poin penting:
- Pemerintah AS telah mengalami penutupan sebagian selama 23 hari karena kebuntuan anggaran politik.
- Presiden Trump menyalahkan Partai Demokrat, menuduh mereka menahan dana demi kepentingan imigran ilegal.
- Jika berlangsung lama, daya beli warga AS yang tidak digaji akan turun, yang dapat mengurangi permintaan ekspor dari negara lain seperti Indonesia.
Sebuah kantor raksasa beberapa bagian pentingnya tiba-tiba dikunci. Lampunya dimatikan, dan para pekerjanya dirumahkan atau diminta tetap bekerja tapi tanpa bayaran. Inilah yang sedang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Pemerintah federal mereka, yang seperti mesin besar penggerak negara, sedang mengalami “shutdown” atau penutupan sebagian. Ini bukan masalah sepele; situasi ini telah berlangsung selama 23 hari, dimulai sejak 1 Oktober. Presiden Donald Trump, pemimpin negara itu, secara terbuka menyebut situasi ini sebagai sesuatu yang “memalukan”.
Akar masalahnya adalah pertarungan politik. Di Washington, ada dua tim politik utama, seperti dua kubu yang saling berhadapan. Presiden Trump menuding tim lawan, Partai Demokrat, sebagai biang keladinya. Ia mengatakan bahwa mereka sengaja menahan uang anggaran yang dibutuhkan untuk menjalankan pemerintahan. Menurut Trump, alasannya adalah karena Demokrat ingin menggunakan sejumlah besar uang, ia menyebut angka 1,5 triliun dolar, untuk membantu para imigran yang tidak memiliki dokumen resmi. Trump berpendapat bahwa permintaan ini akan membahayakan warga negara Amerika sendiri, sehingga ia menolak untuk setuju.
Di tengah perang kata-kata ini, ada orang-orang sungguhan yang terjebak di tengah. Presiden Trump sendiri mengakui bahwa banyak “karyawan yang sangat baik” kini berada dalam situasi yang sangat sulit. Bayangkan, Anda harus tetap membayar tagihan, membeli makanan, dan mengisi bensin, tetapi gaji Anda tiba-tiba berhenti tanpa kejelasan kapan akan cair lagi. Inilah kenyataan pahit bagi ratusan ribu pegawai pemerintah AS. Anehnya, di saat yang sama, Trump juga bersikeras bahwa penutupan ini sama sekali tidak memengaruhi jalannya roda pemerintahan. Ini adalah pesan yang membingungkan: di satu sisi ada krisis bagi pekerja, di sisi lain diklaim semua baik-baik saja.
Para ahli ekonomi memandang situasi ini dengan cemas. Mereka mengatakan dampaknya akan seperti bola salju: semakin lama ini dibiarkan bergulir, semakin besar dan berbahayanya. Dalam waktu dekat, pasar keuangan, tempat orang jual-beli saham, menjadi gugup. Ketidakpastian adalah musuh terbesar pasar, sehingga harga-harga bisa naik-turun secara liar. Selain itu, pertemuan-pertemuan penting untuk membahas perjanjian dagang dengan negara lain juga terpaksa ditunda.
Namun, jika penutupan ini terus berlarut-larut, masalahnya tidak akan berhenti di perbatasan Amerika. Dampaknya bisa menyeberangi lautan dan terasa sampai ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Begini cara kerjanya: para pekerja di AS yang tidak digaji itu tentu akan “mengencangkan ikat pinggang”. Mereka akan berhenti membeli barang-barang yang tidak mendesak, seperti baju baru, perabot rumah, atau barang elektronik. Nah, Indonesia adalah salah satu negara yang memproduksi dan menjual banyak barang-barang tersebut ke Amerika. Jika orang Amerika berhenti berbelanja, pabrik-pabrik di Indonesia yang membuat barang-barang ekspor itu bisa kehilangan pesanan. Ini bisa berarti risiko bagi perekonomian kita. Jadi, apa yang dimulai sebagai pertengkaran politik internal di Washington, pada akhirnya bisa memengaruhi pendapatan dan lapangan kerja di tempat yang jauh.




















