Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun film ini berhasil mengalahkan 99 film produksi nasional lain yang tayang 1 Desember 2022 hingga 31 Oktober 2023.
Membanggakan, karena meski merupakan karya debutan namun banyak penghargaan yang diraih film ini. Saat diputar di Venice Film Festival pada September 2022, film yang 100 persen settingnya di Sidoarjo ini mendapat standing ovation hingga 4 menit lamanya.
Makbul Mubarak merupakan sutradara muda usia yang lahir 27 Februari 1990 di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Selain membuat film, Makbul juga mengajar di Universitas Multimedia Nasional.
Makbul menjadi bukti kehebatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melahirkan lulusan yang piawai di dunia perfilman. Sebelum Makbul, kita tahu ada juga nama Wahyu Agung Prasetyo, sutradara film Tilik yang viral di media sosial.
Kehebatan UMY ini tentu saja wajar, karena UMY merupakan kampus terbaik dibanding 170-an kampus Muhammadiyah lainnya. Secara nasional posisinya berada di urutan ke-18, sementara secara internasional kedudukannya berada di posisi 1.974.
Pada titik ini, cerita kesuksesan Makbul Mubarak cukup melegakan kita. Karena ternyata, lulusan-lulusan berkualitas yang membanggakan negara tidak melulu datang dari perguruan tinggi negeri (PTN) yang selama ini mendapat limpahan afirmasi kebijakan.
Sayangnya, tidak banyak perguruan tinggi swasta (PTS) bisa seperti UMY, UAD, UMM, Binus, hingga Telkom University. Di luar sana, ada ribuan PTS tepatnya 4.475 unit dengan jumlah mahasiswa sebanyak 2,2 juta orang (PDDikti, 2022).
Minim Afirmasi
Big data BPS menyebut, Indonesia bakal mendapat limpahan tenaga kerja usia produktif (bonus demografi) pada 2030. Lalu perlahan kita pun akan menikmati bonus tersebut hingga 2045.
Segala upaya lantas kita lakukan, mulai dari menyiapkan infrastruktur hingga meningkatkan kualitas SDM. Dalam konteks ini kita pun sepakat kenaikan IPM akan berdampak pada peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Upaya tersebut dimulai Menteri Nadiem dengan meluncurkan serangkaian strategi dengan tajuk Kampus Merdeka. Mulai dari otonomi PTN dan swasta dalam pendirian prodi, reakreditasi yang bersifat otomatis, kebijakan PTN-BH, magang di luar kampus, hingga soal pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan program sarjana dan pascasarjana.
Sampai titik ini, kita paham jika apa yang dilakukan mantan bos gojek ini punya maksud yang sama dengan sekitar 3.820 kampus swasta, dalam mencerdaskan kehidupan bangsa baik kampus baik besar maupun kecil.
Namun, disinilah letak persoalannya. Kebijakan Kampus Merdeka yang terlalu mengafirmasi PTN ini tanpa disadari berpengaruh terhadap perkembangan PTS yang jelas-jelas jumlahnya lebih besar dari PTN yang hanya 125 unit.
Realitasnya, terjadi kompetisi tidak sehat yang melahirkan cara-cara ekspansif untuk mendapatkan mahasiswa baru. Meskipun ada beberapa PTS yang memiliki peringkat terbaik dan dipastikan bisa bersaing, namun 4.475 PTS yang ada saat ini mayoritas dalam kondisi kurang sehat dan kesulitan dalam operasionalnya.
Meskipun ada beberapa PTS yang memiliki peringkat terbaik dan dipastikan bisa bersaing, namun 4.475 PTS yang ada saat ini mayoritas dalam kondisi kurang sehat dan kesulitan dalam operasionalnya.
Laporan Panja Standar Nasional Pendidikan Tinggi Komisi X DPR RI tahun 2019 menyebut ada 3.128 PTS yang saat ini di bawah pembinaan Kemendikbudristek. Dimana 14 persen diantaranya berada dalam kondisi yang tidak sehat, mereka mengalami kesulitan dalam hal operasional.
Celakanya, di saat PTS tengah berjuang keluar dari kesulitan tersebut dan tergopoh-gopoh untuk meningkatkan kualitas, Kemendikbudristek justru melemahkan upaya tersebut dengan melonggarkan pendaftaran mahasiswa baru jalur mandiri bagi PTN. Begitu juga soal aturan akreditasi yang meski sesumbar memberi kebebasan kepada PTN maupun PTS, nyatanya malah menghambat perkembangan PTS.
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, banyak PTS yang sebetulnya telah lama berjuang, berusaha tampil di depan. Hadir di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang lama tak digarap PTN. Seperti kampus-kampus yang didirikan Muhammadiyah, seperti Universitas Muhammadiyah Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, STIKOM Muhammadiyah Jayapura, Universitas Muhammadiyah Kupang, dan IKIP Muhammadiyah Maumere.
Tak heran bila begitu banyak cerita penduduk lokal di wilayah timur yang terbantu dengan keberadaan kampus-kampus Muhammadiyah. Baik di NTT maupun Papua, ada jokes yang menyebut kampus UMK itu bukan Universitas Muhammadiyah Kupang, melainkan Universitas Muhammadiyah Kristen. Lulusannya pun viral disebut ‘krismuha’, atau Kristen Muhammadiyah. Meski beragama kristen, mereka memiliki spirit bermuhammadiyah yang tinggi.
Ya, banyak kampus swasta di wilayah-wilayah 3 T sebetulnya memiliki peran penting dalam meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi, sekaligus membuatnya jadi lebih merata. Mereka membantu kita menyiapkan SDM berkualitas meski tanpa afirmasi kebijakan.
Meski raison d’etrenya berbeda, namun model pendidikan tinggi di luar negeri bisa membantu kita membuat peta jalan. Harus bagaimana pendidikan tinggi di negeri ini dikelola.
Di Amerika, pendidikan tinggi mungkin terasa begitu liberal. Pihak swasta berada di garda terdepan untuk mengurus pendidikan. Alhasil, kampus-kampus top di Negeri Paman Sam ini didominasi pihak swasta. Mulai dari Massachussets Institute of Technology (MIT), Harvard University, atau Stanford University, semua dari swasta. Meski ada juga perguruan tinggi negeri yang top seperti Michigan University.
Besarnya peran swasta dalam mengelola perguruan tinggi di Amerika sejatinya menunjukkan betapa besarnya peran pihak dunia usaha dan dunia industri untuk mengembangkan pendidikan tinggi. Keduanya saling membutuhkan dan link and match.
Berbeda dengan di Eropa, yang menganut welfare state. Urusan pendidikan dianggap menjadi urusan negara. Karena itu negara harus betul-betul hadir dalam mengelola pendidikan tinggi. Pemerintah di Eropa sangat peduli masalah pendidikan. Mereka mengalokasikan dana begitu besar untuk menyokong pendidikan tinggi.
Tak heran, jika kampus-kampus top di Eropa berasal dari perguruan tinggi negeri. Di UK misalnya, universitas nomor satu diNnegeri Ratu Elizabet ini adalah Universitas Oxford. Sebuah kampus ternama sekaligus tertua di dunia yang berbahasa Inggris.
Dari sisi demografi, kultur literasi, hingga jumlah perguruan tinggi di Indonesia, pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek, mestinya membuat kebijakan yang berkeadilan ketika mengejar mutu pendidikan tinggi. Memberi afirmasi berlebihan terhadap kampus-kampus negeri tentu akan membuat ribuan kampus swasta mati.
Untuk mencapai keseimbangan yang sehat antara PTN dan PTS, penting bagi Kemendikbudristek untuk terus mendukung pengembangan PTS dengan cara yang berkelanjutan. Pengelolaan pendidikan tinggi harus dilakukan secara bersama. Bukan saja karena angka APK saat ini yang masih tertinggal dari negara-negara lain. Tapi juga problem kualitas pendidikan yang tidak merata.
Penting juga untuk sama-sama kita pahami bahwa PTN dan PTS memiliki peran penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Mereka dapat saling melengkapi dan bersaing dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi di negara ini. Mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi tantangan di dunia kerja, dan menghasilkan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Namun sekali lagi, untuk melahirkan pendidikan yang bermutu, Kemendikbudristek disamping mengejar ‘kemerdekaan’ juga perlu adil tidak saja dalam soal kebijakan, namun sejak dalam pikiran.