Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kopi Pahit

Menjaga Etika di Era AI

Perkembangan Kecerdasan Artifisial (KA) yang begitu cepat memunculkan kebutuhan mendesak akan regulasi dan pedoman etika, agar penggunaan teknologi tidak mengabaikan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Poin Utama:

  1. Pemerintah tengah menyusun regulasi nasional terkait etika penggunaan AI, sejalan dengan rekomendasi UNESCO dan OECD.
  2. Tantangan utama meliputi bias algoritma, penyalahgunaan data pribadi, dan tanggung jawab hukum atas keputusan otomatis.
  3. Akademisi dan industri diminta berkolaborasi dalam membangun AI yang transparan, inklusif, dan akuntabel.

Menjaga Etika di Era AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (KA/AI) berjalan dengan kecepatan luar biasa, dan hal ini memunculkan kebutuhan mendesak bagi negara-kita untuk menetapkan kerangka etika yang kuat agar teknologi ini tidak melanggar nilai kemanusiaan, keadilan sosial, maupun hak dasar warga. Di Indonesia, upaya ini semakin nyata — namun tantangan utamanya juga besar.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah menuju regulasi yang lebih spesifik terkait etika penggunaan AI. Salah satu milestone penting adalah UNESCO Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence (2021), yang menjadi acuan global bagi pengembangan dan pengaturan AI secara adil, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. (UNESCO)
Selaras dengan itu, nilai-nilai yang terkandung dalam OECD AI Principles — seperti inklusivitas, transparansi, akuntabilitas, keamanan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia — juga mulai diadopsi sebagai landasan kebijakan di Indonesia. (OECD AI)
Secara konkret, pada tanggal 19 Desember 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) mengeluarkan Surat Edaran tentang Etika Penggunaan dan Pengembangan AI yang memuat nilai-nilai seperti inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, kredibilitas, dan akuntabilitas. (Digital Policy Alert)
Selain itu, pemerintah juga membuka konsultasi publik untuk “White Paper Roadmap Nasional AI” dan “AI Ethics Guidelines” yang mengundang masukan dari industri, akademisi, dan masyarakat. (BABL AI)
Dengan demikian langkah-regulasi di Indonesia memang sudah mengarah ke kerangka yang lebih sistematis—meskipun belum berbentuk undang-undang khusus AI, namun sudah membentuk dasar etika yang mengacu pada standar internasional. (Herbert Smith Freehills)

Meskipun regulasi dan pedoman mulai terbentuk, ada sejumlah tantangan kritis yang harus dihadapi agar etika AI benar-benar dapat diterapkan dalam praktik birokrasi maupun pengembangan layanan publik.

a. Bias algoritma
Sistem AI bisa menyerap dan memperkuat bias yang sudah ada dalam data atau proses pelatihannya. Jika dibiarkan, maka keputusan otomatis dapat memunculkan diskriminasi atau ketidakadilan—misalnya pelayanan publik yang tidak merata, atau mekanisme seleksi yang tidak adil terhadap kelompok tertentu. Kajian global menunjukkan bahwa salah satu perhatian utama etika AI adalah fairness, atau keadilan dalam algoritma. (arXiv)
Di Indonesia, pendekatan inklusif menjadi kata kunci agar teknologi AI tidak hanya melayani sebagian—melainkan seluruh lapisan masyarakat. (tvbrics.com)

b. Penyalahgunaan data pribadi dan privasi
AI memerlukan data dalam jumlah besar untuk berfungsi optimal. Namun, pengumpulan dan pemrosesan data pribadi tanpa pengamanan yang memadai bisa melanggar privasi atau menempatkan warga pada risiko. Dalam konteks birokrasi, hal ini bisa muncul saat sistem otomatis mengambil keputusan administratif tanpa kontrol manusia yang memadai. Regulasi perlindungan data pribadi di Indonesia memang sudah ada, namun tantangan integrasi dengan AI masih terbuka. (SSEK)

c. Tanggung jawab hukum dan keputusan otomatis
Saat keputusan dibuat oleh mesin atau sistem otomatis yang menggunakan AI, siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kesalahan atau dampak negatif? Apakah pembuat algoritma, pengguna sistem, atau instansi pemerintah? Kerangka hukum Indonesia belum sepenuhnya jelas terkait tanggung jawab dalam “keputusan otomatis”. Hal ini menjadi celah etika karena transparansi dan akuntabilitas menjadi kurang kuat jika peran manusia-pengawasan melemah. (bricscompetition.org)

d. Transparansi, explainability, dan akuntabilitas
Birokrasi modern menuntut bahwa sistem dan keputusan pemerintahan bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka. Sistem AI yang bersifat “kotak hitam” (black-box) bisa menyulitkan audit atau pemahaman mengapa suatu keputusan diambil. Oleh karena itu, etika AI menekankan pada kemampuan untuk menjelaskan (explainability) dan akuntabilitas. (OECD)
Di Indonesia, pemerintah menyebut bahwa aspek transparansi dan inklusivitas harus menjadi bagian dari tata pemerintahan AI. (ANTARA News)

3. Kolaborasi akademisi, industri, dan pemerintah

Untuk membangun AI yang etis, inklusif, dan akuntabel, diperlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan: akademisi, industri, pemerintah, dan masyarakat sipil. Berikut beberapa poin penting:

  • Akademisi dapat memberikan riset kritis tentang implikasi sosial-etika AI, mengevaluasi bias algoritma, dan merancang model yang lebih adil.
  • Industri teknologi harus menerapkan standar etika dalam pengembangan, misalnya melakukan audit algoritma, memastikan keterlibatan manusia dalam loop keputusan, dan membuka dokumentasi sistem.
  • Pemerintah bertindak sebagai regulator sekaligus fasilitator — menetapkan kerangka regulasi, mendorong standar nasional (yang terintegrasi dengan standar internasional seperti UNESCO/OECD), serta memastikan praktisi dan instansi publik memiliki kapasitas untuk mengadopsi AI secara etis.
  • Masyarakat sipil dan pengguna harus dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengawasan. Di Indonesia misalnya, organisasi masyarakat sipil seperti ICT Watch turut berpartisipasi dalam merespon kerangka regulasi AI. (UNESCO)

Kolaborasi ini menjadi penting karena etika AI bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi soal bagaimana sistem diterapkan secara nyata di lingkungan sosial dan birokrasi. Indonesia sendiri sedang mendorong pandangan bahwa AI harus “bermanfaat bagi semua warga” dan tidak memperlebar kesenjangan. (UNESCO)

Agar etika AI benar-benar terintegrasi dalam reformasi birokrasi, berikut beberapa rekomendasi yang bisa diikuti:

  1. Audit dan mitigasi bias algoritma: Setiap instansi yang menggunakan sistem AI untuk pelayanan publik atau pengambilan keputusan harus melakukan audit algoritma berkala, mengecek fairness dan dampak sosial dari keputusan otomatis.
  2. Penguatan literasi dan kapasitas ASN: Aparatur sipil negara (ASN) dan pengelola sistem digital perlu dilatih mengenai implikasi etika AI, termasuk pengawasan terhadap sistem otomatis.
  3. Pelibatan manusia dalam loop keputusan: Meskipun otomatisasi makin luas, harus ada peran manusia dalam memverifikasi keputusan AI penting, terutama yang berdampak besar terhadap warga.
  4. Regulasi yang fleksibel namun tegas: Pemerintah perlu melanjutkan regulasi yang sedang disusun (regulation on responsible AI) agar memiliki kekuatan hukum, namun tetap fleksibel untuk merespon perkembangan cepat teknologi — misalnya regulasi yang memungkinkan audit algoritma, tanggung jawab sosial, dan-atau sanksi jika terjadi pelanggaran.
  5. Transparansi dan keterbukaan: Sistem AI yang digunakan oleh birokrasi harus terbuka dalam hal kebijakan penggunaan, data yang digunakan, dan mekanisme pengambilan keputusan sehingga publik bisa memahami dan menilai prosesnya.
  6. Kolaborasi lintas sektor: Pemerintah, industri, dan akademisi perlu menjalin kemitraan untuk riset bersama, pengembangan standar teknis, dan pengembangan pilot project yang menunjukkan bagaimana AI bisa diterapkan secara etis dalam pelayanan publik.
  7. Evaluasi berkelanjutan dan pembaruan pedoman etika: Karena teknologi AI berkembang sangat cepat, pedoman etika yang sudah disusun harus terus diperbarui agar relevan dengan konteks baru, misalnya LLM (large language model), generative AI, dan automatisasi keputusan kompleks.

Pada akhirnya, menjaga etika di era AI bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi, melainkan membangun fondasi kepercayaan publik terhadap teknologi yang digunakan negara dan birokrasi. Di Indonesia, dengan langkah-langkah menuju regulasi nasional dan adopsi nilai internasional (UNESCO/OECD) disertai tantangan nyata seperti bias algoritma, privasi data, dan tanggung jawab hukum, momentum reformasi birokrasi berbasis AI bisa menjadi perubahan besar jika etika dijadikan panduan utama.

Reformasi birokrasi yang menggunakan AI tanpa mempertimbangkan etika bisa berisiko memperkuat ketimpangan, mengurangi kepercayaan publik, atau malah mengganti satu bentuk birokrasi kaku dengan sistem otomatis yang tak terkontrol. Sebaliknya, birokrasi yang memanfaatkan AI dengan kerangka etika yang kuat akan lebih responsif, inklusif, dan adil—sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan pelayanan publik yang baik.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Perspektif

India, melalui Kebijakan Pendidikan Nasional 2020, tampak lebih progresif dalam memperkenalkan perubahan yang berorientasi pada pengembangan holistik dan berbasis pengalaman.

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...