Connect with us

Hi, what are you looking for?

Perspektif

Menkeu Purbaya dan Strategi Menuju Ekonomi 8 Persen

Fondasi Sumitronomics dengan intervensi moneter agresif dan stimulus kerakyatan demi mencapai target pertumbuhan ambisius 8 persen.

Poin Penting:

  • Penerapan Sumitronomics sebagai landasan kebijakan menggabungkan pertumbuhan tinggi, pemerataan manfaat, dan stabilitas nasional.
  • Intervensi likuiditas ratusan triliun rupiah ke perbankan untuk membalikkan perlambatan ekonomi dan menstimulus sektor riil.
  • Sinergi mesin pertumbuhan swasta dan pemerintah serta perlindungan pasar domestik menjadi kunci mengejar target jangka panjang.

Dalam peluncuran Bloomberg Businessweek di Jakarta, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, memberikan paparan blak-blakan mengenai arah kebijakan ekonomi nasional di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Di tengah skeptisisme publik terhadap target pertumbuhan ekonomi 8 persen, Purbaya justru menegaskan optimisme yang terukur. Baginya, angka 8 persen bukanlah sekadar jargon politik, melainkan sebuah kebutuhan mutlak jika Indonesia ingin keluar dari jebakan pendapatan menengah dan bertransformasi menjadi negara maju. Ia menekankan bahwa untuk mencapai status negara maju, Indonesia sejatinya membutuhkan pertumbuhan ekonomi dua digit (double digit) selama lebih dari satu dekade. Oleh karena itu, target 8 persen dianggap sebagai “start yang baik” dan langkah awal yang krusial.

Kepercayaan diri Purbaya tidak muncul dari ruang hampa. Ia mengaku telah membedah isi pemikiran ekonomi Presiden Prabowo yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran ayahnya, begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo. Konsep yang disebutnya sebagai “Sumitronomics” ini menjadi fondasi arsitektur ekonomi kabinet saat ini. Dalam disertasi Sumitro tahun 1943, terdapat tiga pilar utama pembangunan yang diadopsi: pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, dan stabilitas nasional yang dinamis. Purbaya menekankan bahwa ketiga pilar ini adalah satu kesatuan paket yang tidak bisa dipisahkan. Pertumbuhan tinggi tanpa pemerataan akan menciptakan ketimpangan yang memicu gejolak sosial, sementara pemerataan tanpa pertumbuhan hanya akan membagi kemiskinan.

Refleksi Dua Era: Belajar dari SBY dan Jokowi

Analisis tajam Purbaya terlihat saat ia membedah data ekonomi dua dekade terakhir, membandingkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia mencatat bahwa pada masa 10 tahun pemerintahan SBY, ekonomi Indonesia mampu tumbuh rata-rata di angka 6 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh sektor swasta (private sector led growth), yang berhasil meningkatkan pendapatan per kapita hingga tiga kali lipat. Namun, secara paradoksal, popularitas SBY di mata masyarakat akar rumput dinilai tidak sekuat penggantinya. Purbaya menganalisis bahwa hal ini disebabkan minimnya program-program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat kecil (“program populis”) di era tersebut.

Sebaliknya, era Presiden Jokowi ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih moderat di kisaran 5 persen. Model pertumbuhannya sangat bergantung pada belanja pemerintah, khususnya pembangunan infrastruktur (government led growth). Meskipun kenaikan kesejahteraan riil mungkin tidak secepat era sebelumnya, popularitas Jokowi sangat tinggi. Kuncinya terletak pada program-program perlindungan sosial yang masif dan langsung dirasakan manfaatnya, seperti Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan berbagai bantuan sosial lainnya. Dari perbandingan ini, Purbaya menarik kesimpulan strategis untuk era Prabowo: Indonesia harus menggabungkan keunggulan kedua era tersebut. Mesin pertumbuhan harus dinyalakan dari dua sisi sekaligus, yaitu sektor swasta yang bergairah seperti era SBY dan intervensi pemerintah yang kuat serta pro-rakyat seperti era Jokowi. Sinergi inilah yang diyakini mampu mendongkrak pertumbuhan menembus plafon 5 persen menuju 6 persen, dan akhirnya mencapai 8 persen.

Menkeu Purbaya juga terbuka mengenai turbulensi ekonomi yang sempat mengguncang Indonesia pada pertengahan tahun 2025. Ia mengakui adanya gelombang demonstrasi pada bulan Agustus yang dipicu oleh perlambatan ekonomi yang signifikan. Masyarakat merasakan himpitan ekonomi yang nyata, yang menurut diagnosa Purbaya, disebabkan oleh kebijakan pengetatan moneter yang terlalu agresif—baik disengaja maupun tidak. Indikator utamanya terlihat dari pertumbuhan uang beredar (base money) yang menyusut drastis, bahkan sempat negatif pada tahun 2024. Mengutip teori Milton Friedman, Purbaya menegaskan bahwa kondisi moneter seharusnya tidak hanya dilihat dari suku bunga, tetapi dari pertumbuhan jumlah uang beredar. Ketika pertumbuhan uang direm, ekonomi otomatis melambat, daya beli masyarakat tergerus, dan ketidakpuasan sosial meningkat.

Merespons situasi kritis tersebut, Purbaya mengambil langkah cepat dengan menerapkan teori “The Macroeconomics of Self-Fulfilling Prophecy” dari Roger Farmer. Strategi utamanya adalah menciptakan ekspektasi positif di pasar. Namun, ia menyadari bahwa membangun narasi optimis saja tidak cukup; harus ada eksekusi kebijakan yang konkret. Kementerian Keuangan, bekerja sama dengan otoritas terkait, menyuntikkan likuiditas segar ke dalam sistem perbankan sebesar Rp 200 triliun, yang kemudian ditambah lagi sebesar Rp 76 triliun. Tujuannya adalah membanjiri pasar dengan likuiditas untuk memacu kredit dan aktivitas bisnis.

Purbaya tidak hanya berhenti pada injeksi dana. Ia melakukan pemantauan ketat (monitoring) hingga ke level operasional bank, memastikan bahwa likuiditas tersebut benar-benar disalurkan menjadi kredit (lending), bukan mengendap di brankas bank. Ia bahkan menggunakan instrumen Danantara (Dana Investasi Nusantara) untuk menekan bank-bank BUMN agar agresif menyalurkan kredit. Hasilnya langsung terlihat: indikator pertumbuhan uang melonjak ke level 13 persen pada September 2025, meskipun sempat terkoreksi kembali ke 7 persen pada Oktober, yang memicu intervensi tambahan. Dampak di sektor riil mulai terasa dengan naiknya angka penjualan dan kembali ramainya pasar-pasar domestik.

Di sisi fiskal, pemerintah menggelontorkan berbagai stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah yang paling rentan. Purbaya merinci alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 31 triliun untuk tiga bulan terakhir tahun 2025, yang menyasar keluarga di desil 1 hingga 4. Setiap keluarga penerima manfaat mendapatkan Rp 300.000 per bulan, sebuah injeksi dana yang diharapkan langsung berputar di ekonomi lokal. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi diskon tiket transportasi umum, termasuk kereta api dan angkutan penyeberangan, senilai Rp 180 miliar untuk menekan biaya mobilitas masyarakat.

Salah satu program unggulan yang disorot adalah program magang nasional. Tidak main-main, peserta magang diberikan uang saku setara Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) rata-rata sebesar Rp 3,8 juta per bulan. Program ini didesain bukan hanya untuk pelatihan, tetapi juga sebagai jaring pengaman sosial bagi lulusan baru (fresh graduates). Kuota peserta akan dibuka secara bertahap, dimulai dari 20.000 orang dengan opsi penambahan kuota secara fleksibel (“top-up”) jika permintaan tinggi, bahkan bisa mencapai 100.000 orang atau lebih. Anggaran yang disiapkan untuk program ini mencapai Rp 200 miliar pada 2025 dan akan melonjak menjadi Rp 1,16 triliun pada 2026. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyerap tenaga kerja muda sekaligus menjaga daya beli mereka.

Dalam strategi jangka panjangnya, Purbaya menekankan pentingnya kemandirian ekonomi melalui penguatan pasar domestik. Ia mengingatkan bahwa 90 persen kue ekonomi Indonesia ditopang oleh permintaan dalam negeri, sementara ekspor hanya berkontribusi sekitar 10 persen. Oleh karena itu, melindungi pasar domestik dari serbuan barang impor ilegal menjadi prioritas mutlak. Pemerintah berjanji akan menghilangkan hambatan (bottlenecks) yang selama ini menyulitkan industri lokal dan memberantas praktik impor ilegal yang mematikan daya saing produsen dalam negeri. Filosofinya sederhana: pasar Indonesia yang besar harus dinikmati dan dimaksimalkan oleh pelaku usaha Indonesia sendiri demi kemakmuran bersama.

Menutup paparannya, Menkeu Purbaya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2025 akan berada di kisaran 5,6 hingga 5,7 persen. Untuk tahun 2026, ia berani mematok target pertumbuhan menembus 6 persen, jauh di atas asumsi APBN yang konservatif di angka 5,4 persen. Dengan sinergi mesin fiskal, moneter, dan sektor riil yang mulai berjalan serentak, serta perbaikan iklim investasi, ia optimis target 8 persen akan semakin dekat dalam 3-4 tahun mendatang. Bagi Purbaya, tantangan ekonomi yang ada bukanlah alasan untuk pesimis, melainkan pemicu adrenalin untuk bekerja lebih keras, memastikan setiap rupiah anggaran negara berdampak nyata bagi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Perspektif

India, melalui Kebijakan Pendidikan Nasional 2020, tampak lebih progresif dalam memperkenalkan perubahan yang berorientasi pada pengembangan holistik dan berbasis pengalaman.

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...