Layar ponsel pintar itu seharusnya menjadi gerbang menuju solusi finansial, namun bagi ratusan pengguna di awal Desember 2025, ia justru berubah menjadi tembok penghalang yang memicu frustrasi massal. Di balik kilauan janji kemudahan teknologi finansial, terdapat realitas berbeda yang terekam jelas dalam jejak digital: notifikasi penolakan yang muncul berulang kali, kamera yang gagal mengenali wajah pengguna, hingga angka limit kredit yang tak kunjung bergerak naik. Puncak kekecewaan ini meledak pada tanggal 9 Desember 2025, ketika ratusan keluhan membanjiri lini masa, mengubah ruang digital menjadi arena protes tak terorganisir namun bising akan ketidakpuasan terhadap layanan keuangan.
Fenomena ini terekam dalam sebuah laporan analisis media yang menyoroti pergeseran drastis pola pengaduan konsumen di era digital. Dari total 531 data yang terpantau sepanjang tahun hingga awal Desember, hampir seluruh percakapan tersebut, yakni sebanyak 529 entri, tidak terjadi di kolom surat pembaca koran atau portal berita resmi, melainkan meledak di media sosial. TikTok, dengan format visualnya yang lugas, menjadi panggung utama dengan 198 unggahan, disusul ketat oleh Instagram dan Facebook. Angka ini menegaskan bahwa ketika nasabah merasa buntu dengan layanan pelanggan konvensional, mereka memilih untuk memviralkan pengalaman buruk mereka sebagai bentuk eskalasi masalah.
Di tengah riuh rendah percakapan tersebut, isu verifikasi data muncul sebagai momok teknis yang paling banyak diperbincangkan. Sebanyak 23 topik dominan menyoroti kegagalan sistem dalam memvalidasi identitas, mulai dari verifikasi wajah yang tak responsif hingga masalah sinkronisasi data kependudukan. Kegagalan di pintu gerbang administrasi ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan penghalang nyata bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan. Tak kalah meresahkan, isu penolakan pengajuan kredit secara terus-menerus juga menjadi sorotan tajam dalam 17 topik utama, di mana nasabah merasa diposisikan dalam ketidakpastian tanpa alasan yang transparan mengapa permohonan mereka, termasuk KPR, mentah begitu saja di hadapan sistem.
Sentimen yang terbangun dari tumpukan masalah ini melukiskan potret kepercayaan publik yang sedang tergerus. Meski mayoritas percakapan atau sekitar 60,3 persen bernada netral yang berisi pertanyaan dan kebingungan, terdapat 205 pemberitaan dengan sentimen negatif yang kuat. Narasi kekecewaan ini kian runcing ketika membahas soal limit kredit. Pengguna tidak hanya mengeluhkan limit yang stagnan atau tidak naik-naik, tetapi juga munculnya kasus limit awal yang ekstrem rendah—bahkan ada yang menyebut angka satu rupiah—yang dianggap tidak masuk akal dan memicu pertanyaan besar mengenai utilitas layanan tersebut.
Kenyataan di lapangan ini mengirimkan sinyal darurat bagi para pelaku industri keuangan untuk segera berbenah. Dominasi keluhan di media sosial menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian masalah internal perusahaan belum berjalan efektif, memaksa nasabah mencari keadilan di ruang publik. Tanpa perbaikan mendasar pada sistem verifikasi data yang kerap gagal dan transparansi dalam alasan penolakan kredit, reputasi institusi keuangan digital dipertaruhkan. Publik kini menuntut lebih dari sekadar aplikasi canggih; mereka menginginkan sistem yang manusiawi, yang mampu memberikan kepastian dan keamanan, bukan sekadar algoritma dingin yang menolak akses tanpa penjelasan





















