Poin Utama:
- AI digunakan untuk menciptakan musik, naskah film, dan karya seni visual secara otomatis melalui algoritma kreatif.
- Industri kreatif mulai mengadopsi AI sebagai alat kolaboratif, bukan pengganti seniman.
- Tantangan hukum dan etika muncul terkait hak cipta, orisinalitas karya, serta perlindungan terhadap seniman manusia.
Ledakan Kecerdasan Artifisial (KA) (Artificial Intelligence/AI) melahirkan babak baru dalam industri kreatif global, termasuk di Indonesia. Teknologi generatif seperti OpenAI Sora, Sunovian Music, dan Midjourney kini memungkinkan komputer menciptakan lagu, skenario film, hingga karya seni digital dalam waktu singkat sesuatu yang dulu hanya bisa dilakukan manusia.
Menurut data PwC Creative Tech Outlook 2025, sekitar 30 persen konten digital di dunia pada 2025 akan dihasilkan atau dibantu oleh AI. Fenomena ini mengubah ekosistem seni, memperluas ruang kolaborasi antara manusia dan mesin. AI bukan ancaman bagi seniman, tetapi alat bantu yang memperluas imajinasi.
Di industri musik, AI sudah digunakan untuk menyusun melodi dan harmoni berdasarkan preferensi pendengar. Platform seperti Boom.ai dan Amper Music memungkinkan musisi lokal memproduksi musik latar dengan cepat tanpa studio mahal.
Di dunia perfilman, teknologi AI Script Generator membantu penulis naskah membuat alur cerita berdasarkan data tren penonton. Beberapa rumah produksi di Indonesia mulai memanfaatkan AI untuk menulis naskah film pendek dan menyunting trailer otomatis.
Sementara di bidang seni rupa, seniman muda memanfaatkan text-to-image generator untuk menciptakan lukisan digital berteknik “seni generatif.” Pameran bertajuk “Pixel and Pulse” di Galeri Nasional tahun ini bahkan memajang 40 karya kolaboratif antara manusia dan AI, menarik lebih dari 15 ribu pengunjung dalam sepekan.
AI membantu saya memvisualkan gagasan yang tidak mungkin diwujudkan dengan teknik manual. Namun di balik kreativitas itu, muncul perdebatan besar mengenai siapa pemilik karya yang dihasilkan AI. Apakah penciptanya adalah manusia yang memberi perintah, atau sistem AI itu sendiri?
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) tengah mengkaji aturan baru untuk mengatur hak cipta karya berbasis AI. Perlu memastikan perlindungan hukum bagi seniman tanpa menghambat inovasi teknologi.
Selain hak cipta, isu lain yang mengemuka adalah deepfake penggunaan AI untuk memanipulasi wajah atau suara tokoh publik tanpa izin. Kasus seperti ini mulai muncul di industri periklanan dan hiburan, mendorong pemerintah untuk menyiapkan sanksi tegas dalam revisi UU Perfilman dan UU ITE.
Di tengah perdebatan etika dan hukum, banyak seniman mulai melihat AI sebagai rekan kolaborasi, bukan pesaing. Beberapa festival film dan musik kini bahkan memiliki kategori khusus untuk karya yang melibatkan teknologi AI.
Perguruan tinggi seni seperti ISI Yogyakarta dan IKJ telah membuka program AI for Creative Arts untuk melatih mahasiswa memanfaatkan algoritma dalam proses penciptaan. AI mempercepat eksekusi ide, tapi nilai seni tetap datang dari manusia.
Perpaduan antara kreativitas manusia dan kecerdasan mesin menunjukkan arah baru dunia seni: cepat, eksperimental, dan lintas batas. Dengan kerangka hukum yang adaptif dan ekosistem riset yang terbuka, Indonesia berpeluang menjadi pusat inovasi seni digital di Asia Tenggara. Teknologi boleh menciptakan nada dan warna, tapi hanya manusia yang memberi makna




















