Connect with us

Hi, what are you looking for?

Ragam

Literasi Kecerdasan Artifisial Antara Kecanggihan dan Kesadaran

Di era ketika teknologi bisa menulis esai dalam hitungan detik, literasi  Kecerdasan Artifisial bukan lagi bekal tambahan melainkan kompas utama dalam pendidikan.

  • Kecerdasan Artifisial generatif telah masuk ke ruang kelas. 
  • Literasi dan etika menjadi faktor penentu apakah KA memperkuat atau merusak proses belajar.
  • Penelitian terkini menunjukkan kebutuhan mendesak akan pendidikan literasi  Kecerdasan Artifisial di tingkat menengah.

Tidak dipungkiri banyak tugas sekolah dikerjakan dengan bantuan Kecerdasan Artifisial, Misalkan untuk membuat teks pidato.  Jika kita berikan tugas ini pada KA maka ia akan segera  menyodorkan teks pidato lengkap, rapi, dan persuasif. Coba bandingkan bila dikerjakan murid tanpa bantuan KA. Dengan bantuan KA dalam waktu kurang dari dua menit, tugas yang biasanya membutuhkan satu jam selesai sudah.

Luaran yang diberikan oleh Kecerdasan Artifisial semakin berkualitas. Bahkan untuk tugas-tugas yang lebih kompleks. Semakin hari semakin akurat dan efisien. Membuat guru harus berpikir panjang untuk membuat soal atau tugas. 

Situasi seperti ini bukan lagi pengecualian, melainkan menjadi bagian dari realitas baru di dunia pendidikan Indonesia dan dunia. Teknologi  Kecerdasan Artifisial generatif seperti ChatGPT, Claude, dan Gemini telah masuk ke ruang-ruang belajar tanpa mengetuk pintu. Mereka membantu, sekaligus menantang, cara siswa belajar dan guru mengajar.

Namun di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah siswa memahami apa yang mereka gunakan? Apakah mereka bisa membedakan antara bantuan dan ketergantungan? Di sinilah isu literasi  Kecerdasan Artifisial dan kesadaran etis menjadi penting, bahkan krusial.

Riset-riset terbaru dari jurnal internasional mengungkap wajah lain dari euforia  Kecerdasan Artifisial dalam pendidikan. Sebuah studi sistematis yang dilakukan oleh Ogunleye dan rekan-rekannya (2024) menunjukkan bahwa  Kecerdasan Artifisial generatif telah banyak digunakan dalam proses pembelajaran dari membuat soal latihan hingga menjadi tutor virtual. Tapi manfaat itu hanya muncul jika pengguna memahami cara kerja dan batasan teknologi tersebut.

Sementara itu, Gu dan Ericson (2025) dalam ulasan integratifnya menyoroti bahwa tingkat literasi  Kecerdasan Artifisial di kalangan pelajar, khususnya siswa SMA dan guru mereka, masih tergolong rendah. Kebanyakan hanya tahu “cara pakai”, tanpa paham konteks, risiko, atau etika penggunaannya. Mereka menyebut ini sebagai “kesenjangan literasi  Kecerdasan Artifisial” yang berpotensi memperlebar jurang antara siswa yang siap menghadapi masa depan dan yang hanya mengikuti arus.

Bahaya lain mengintai dari penggunaan  Kecerdasan Artifisial yang tanpa panduan: plagiarisme dan kemalasan intelektual. Penelitian oleh Ateeq dkk. (2024) mencatat bahwa penggunaan  Kecerdasan Artifisial untuk menyelesaikan tugas tanpa pengakuan sumber telah menjadi praktik yang cukup lazim. Banyak siswa bahkan menganggapnya bukan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai bagian dari efisiensi belajar.

Namun, sisi lain dari  Kecerdasan Artifisial juga mulai terlihat. Studi Mallillin (2024) menunjukkan bahwa ketika digunakan dengan terarah,  Kecerdasan Artifisial justru meningkatkan motivasi belajar dan hasil akademik siswa. Siswa yang terbiasa berdialog dengan  Kecerdasan Artifisial untuk memahami konsep pelajaran cenderung lebih percaya diri dan mandiri. Ini menunjukkan bahwa  Kecerdasan Artifisial bukanlah masalah, melainkan alat dan seperti alat lainnya, ia bisa berguna atau berbahaya tergantung tangan yang menggunakannya.

Sayangnya, mayoritas studi yang ada masih terfokus pada mahasiswa dan pendidikan tinggi. Padahal, revolusi  Kecerdasan Artifisial saat ini telah menjangkau siswa SMA bahkan SMP. Di Indonesia sendiri, belum banyak penelitian empiris yang mengungkap bagaimana literasi  Kecerdasan Artifisial dan pemahaman etis mempengaruhi kinerja belajar siswa di tingkat sekolah menengah.

Inilah yang membuat munculnya usulan penelitian seperti “Pengaruh Literasi  Kecerdasan Artifisial dan Kesadaran Etis terhadap Kinerja Akademik Siswa SMA di Era  Kecerdasan Artifisial Generatif” menjadi penting dan mendesak. Penelitian seperti ini bisa membuka pemahaman baru tentang bagaimana siswa benar-benar menggunakan  Kecerdasan Artifisial bukan hanya sebagai alat bantu teknis, tetapi sebagai ruang interaksi kognitif dan moral.

Lebih dari sekadar tahu cara pakai, literasi  Kecerdasan Artifisial harus mencakup pemahaman tentang bias algoritma, akurasi informasi, hingga cara memverifikasi data yang dihasilkan. Di sisi lain, kesadaran etis menyangkut sikap terhadap orisinalitas, penghargaan terhadap karya sendiri, serta tanggung jawab dalam belajar. Dua hal ini jika digabungkan, menjadi dasar penting bagi pendidikan abad ke-21.

Maka, sekolah perlu bergerak lebih cepat. Kurikulum literasi digital perlu diperluas menjadi literasi  Kecerdasan Artifisial. Guru perlu mendapatkan pelatihan bukan hanya untuk mengawasi, tetapi juga untuk memfasilitasi penggunaan  Kecerdasan Artifisial secara bijak. Dan siswa sebagai pengguna paling aktif perlu dilatih agar tidak sekadar menjadi peniru cerdas, tetapi pemikir kritis yang mampu berdialog dengan teknologi.

Teknologi  Kecerdasan Artifisial memang menjanjikan efisiensi dan kemudahan, tetapi tanpa literasi dan kesadaran, ia bisa menjadi alat pelumpuh berpikir. Maka, jika kita ingin menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga kuat secara moral, pendidikan literasi  Kecerdasan Artifisial harus menjadi prioritas, bukan sekadar pilihan.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Perspektif

India, melalui Kebijakan Pendidikan Nasional 2020, tampak lebih progresif dalam memperkenalkan perubahan yang berorientasi pada pengembangan holistik dan berbasis pengalaman.