Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tengah menjadi perbincangan. Di ruang rapat pemerintah, ini disebut langkah strategis. Di warung kopi, suara masyarakat lebih bercampur: ada yang mendukung, ada yang meradang.
Sebelum menghakimi kebijakan ini, ada baiknya kita lihat dulu kebijakan ini secara historis. Karena kenaikan PPN ini bukan kebijakan yang tiba-tiba muncul. Dasar hukumnya tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021, sebagai respons atas dampak pandemi Covid-19.
Saat itu, keuangan negara berada dalam tekanan besar, sehingga pemerintah mencari cara untuk menambah pemasukan demi menopang APBN. PPN yang sebelumnya 10 persen dinaikkan secara bertahap menjadi 11 persen pada 2022, dan akan mencapai 12 persen per 1 Januari 2025.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung stabilitas fiskal di masa sulit, sekaligus memastikan kelanjutan pembangunan nasional.
Dari sisi ini, menjadi menarik jika kita meihatnya dari sudut pandang hukum, terutama melalui lensa pemikiran John Austin, seorang filsuf hukum Inggris yang dikenal dengan teori hukum positifnya.
John Austin: Sang Pelopor Hukum Positif
John Austin (1790–1859) bukan nama sembarangan di dunia hukum. Ia lahir di Suffolk, Inggris, dan memulai karier sebagai pengacara sebelum akhirnya menjadi akademisi di University College London.
Melalui karya monumentalnya, The Province of Jurisprudence Determined (1832), Austin memperkenalkan gagasan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat, yang wajib ditaati oleh rakyat karena disertai ancaman sanksi.
Austin memisahkan hukum dari moralitas. Dalam pandangannya, hukum tidak perlu dinilai berdasarkan baik atau buruknya, tetapi hanya berdasarkan apakah ia diberlakukan oleh otoritas yang sah. Teorinya menjadi landasan hukum positif modern dan membentuk kerangka berpikir banyak sistem hukum di dunia.
Selain The Province of Jurisprudence Determined, ia juga dikenal melalui kuliah-kuliah yang dikumpulkan dalam Lectures on Jurisprudence.
Dalam hukum Austin, ada tiga elemen utama:
- Perintah: Hukum adalah perintah yang harus ditaati.
- Sanksi: Kepatuhan terhadap hukum didorong oleh ancaman hukuman.
- Kedaulatan: Hukum hanya sah jika dikeluarkan oleh penguasa yang berdaulat.
PPN 12 Persen Perspektif Austin
Jika Austin masih hidup, ia mungkin akan melihat PPN 12 persen sebagai contoh nyata hukum positif. Pemerintah sebagai penguasa berdaulat telah menetapkan aturan ini untuk memperkuat keuangan negara.
Sebagai hukum, PPN 12 persen tidak membutuhkan pembenaran moral; ia sah karena dikeluarkan oleh otoritas yang sah dan disertai ancaman sanksi bagi pelanggar.
Namun, hukum tidak berdiri sendiri. Austin memahami bahwa penerapan hukum membutuhkan kepatuhan masyarakat. Dalam konteks ini, kenaikan PPN adalah ujian besar bagi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kepatuhan Pajak dan Manfaat Strategis
Dari sudut pandang hukum positif, PPN 12 persen adalah alat untuk memastikan kepatuhan pajak. Dengan kepatuhan yang meningkat, negara dapat mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan yang stabil. Pendapatan ini digunakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan program sosial lainnya.
Selain itu, kebijakan ini mendorong disiplin fiskal yang lebih kuat. Dengan pendapatan yang meningkat, pemerintah bisa mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dan memperkuat posisi fiskal Indonesia di tengah tantangan global.
Selain itu, kenaikan pajak jadi PPN 12 Persen pada 2025 dilakukan untuk meningkatkan angka rasio pajak Indonesia.
Saat ini merujuk data dari Kemenkeu, Rasio pajak Indonesia tercatat di angka 10,4 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain yang mencapai 15 persen.
Moralitas vs. Efektivitas Hukum
Austin memisahkan hukum dari moralitas. Baginya, hukum adalah instrumen untuk mengatur masyarakat, bukan untuk mendikte nilai-nilai moral. Namun, dalam praktiknya, masyarakat selalu mengaitkan hukum dengan rasa keadilan.
Kenaikan PPN tentu memunculkan pertanyaan: apakah ini adil bagi masyarakat kecil? Pemerintah berusaha meredam kekhawatiran ini dengan menjanjikan penghapusan pajak untuk barang-barang kebutuhan pokok. Tapi janji ini harus ditegakkan dengan transparansi dan pengawasan.
Austin di Era Modern
John Austin mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang ditaati. Namun, di dunia modern, kepatuhan saja tidak cukup. Hukum harus memberikan manfaat nyata bagi rakyatnya.
Dalam konteks PPN 12 persen, kebijakan ini adalah cerminan hubungan antara negara dan rakyat. Pemerintah memegang otoritas, tetapi kepercayaan rakyat harus tetap terjaga.
Austin memberikan kita kerangka berpikir untuk memahami hukum sebagai alat negara yang sah. Namun, era modern menuntut lebih: hukum juga harus mencerminkan keadilan sosial.
PPN 12 persen adalah ujian bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa hukum ini tidak hanya sah secara legal, tetapi juga dirasakan adil oleh rakyat.
Sebagaimana Austin menekankan pentingnya otoritas dalam hukum, masyarakat modern menuntut agar hukum juga berdiri atas landasan keadilan.
Apakah PPN 12 persen akan menjadi solusi atau sekadar beban baru, itu bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara otoritas dan keadilan.
