PROFESI petani masih sering dipandang sebelah mata di negeri kita. Kalah pamor dibanding profesi karyawan atau orang kantoran. Bahkan buruh tani pun dianggap lebih rendah kastanya dibanding buruh pabrik. Tak jarang petani diidentikkan dengan latar belakang pendidikan yang rendah, hidup susah dan sulit berkembang. Banyak orang kurang percaya diri memperkenalkan dirinya berasal dari keluarga dan kultur petani. Bahkan banyak petani sukses yang menyekolahkan anaknya agar tak menjadi petani.
Nasib petani memang sering terpinggirkan, meski ada kementerian pertanian yang mengurusnya. Sejak masa kolonial hingga munculnya generasi milenial, petani menjadi pilihan profesi yang banyak ditinggalkan. Pun banyak masalah petani mangkrak karena kebijakan yang tak berpihak. Para petani tergusur, kalah dalam konflik lahan, dicekik kelangkaan benih, diketok oleh harga pupuk yang mahal, dan harga hasil pertanian yang anjlok menjadi masalah klasik yang menjerat kehidupan petani.
Memang tak semua petani miskin. Ada petani dan kelompok tani yang boleh dibilang sukses. Yang jelas sebagian mereka telah menjadi penopang ekonomi bangsa. Mereka menjadi penyangga ketahanan pangan meski sering galau kala komoditas impor datang di saat yang tidak menguntungkan bagi mereka demi meredam gejolak harga dan atas nama kepentingan konsumen. Apa daya mereka berhadapan dengan kartel pangan dan kartel pupuk.
Kini saat pandemi datang kita semua gamang. Kita berbicara ketahanan pangan namun pikiran kita masih meraba-raba darimana dan hendak kemana arah kebijakan di sektor pertanian. Jangan-jangan kita akan semakin bergantung pada bangsa lain dalam segala hal. Termasuk ringkih dalam kedaulatan pangan. Maka isu pangan terkait dengan pertanian, lapangan kerja, dan perputaran roda ekonomi saat pandemi menjadi mata rantai yang seharusnya bisa saling menguatkan. Pendekatan yang komprehensif agar anak muda sudi kembali ke sawah dan ladang menjadi penting.
Apakah menjadi petani modern pilihan yang menarik? Nampaknya kita harus banyak membuka cakrawala betapa bidang pertanian tak berdiri berseberangan dengan segala hal yang berkemajuan. Banyak kisah di sekitar kita yang menunjukkan betapa menjanjikan profesi ini. Tak hanya bagi keuntungan pribadi namun juga bagi masyarakat seikitar.
Apalagi kalau kita lihat teladannya di Jepang, Israel, dan negara-negara maju yang tetap melindungi basis pertaniannya. Mereka mampu mengembangkan inovasi, melindungi tanah pertanian, bahkan mengubah gurun menjadi lahan pertanian. Bukan sebaliknya menjadikan hutan menjadi gurun yang kerontang dan rusak.
Pun kita sadari bahwa kita butuh pangan, kita butuh pekerjaan, kita juga membutuhkan perputaran roda perekonomian dari tata niaga komoditas pangan. Dan sektor pertanian tak berdiri sendiri. Ia juga bersinggungan dengan perdagangan dan teknologi. Termasuk teknologi digital. Beberapa start-up sudah merambah sektor ini.
Labih dari itu, di saat seperti ini kita butuh pemimpin dengan gagasan yang inspiratif. Langkah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengajak anak-anak muda Jawa Barat untuk menjadi Petani 4.0. patut diparesiasi. Gagasan ini dapat mengubah anggapan khalayak bahwa petani tidak identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, dan daya tawar yang rendah.
Sebagai langkah awal, Ridwan Kamil mengajak 5.000 anak muda yang mau menggarap tanah. Pembiayaan diberi akses, pemasaran juga. Tinggal komitmen dan kerja keras saja yang memang dibutuhkan dalam bidang profesi apapun. Hampir tidak ada alasan lagi untuk tidak tertarik ikut bergabung jika semua sudah disediakan.
Jika masalahnya adalah lahan maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan meminjamkan tanah subur masing-masing seluas 2.000 meter persegi. Setiap hektare bisa dibagi untuk lima orang petani. Lahan seluas ini sangat cukup untuk memulai menjadi petani. Jika berhasil kelak bisa menyewa lahan yang lebih luas bahkan membeli lahan. Ini juga akan mendorong pemanfaatan lahan agar semakin produktif.
Dengan akses pembiayaan perbankan maka masalah modal kerja akan relatif tertangani. Pun banyak petani dan calon petani yang sebenarnya punya modal hanya terbentur masalah ketersediaan lahan dan kemana akan menjual hasil panennya. Jika BUMD yag akan menjadi off-taker atau pembeli hasil panen petani sudah tersedia dan menjamin akan membeli maka boleh dikata lebih dari separuh masalah sudah tertangani.
Sebagaimana diberitakan, para pemuda yang menjadi Petani 4.0 akan mendapatkan modal dari Bank BJB dan hasilnya nanti dibeli langsung Agro Jabar.
Ide atau program ini tentu akan banyak mengalami tantangan. Namun setiap tantangan akan menjadi penyempurna dari gagasan yang didorong oleh tekad menyejahterakan masyarakat. Dan para pemimpin politik memang harus berlomba untuk menawarkan gagasan baik dan mengawalnya untuk kepentingan publik. Pendek kata, Indonesia membutuhkan tokoh politik yang matang dalam konsep dan mumpuni dalam implementasi. Dan mestinya asa itu layak disandarkan ke bahu Kang Emil.