Connect with us

Hi, what are you looking for?

Perspektif

Bursa Transfer Caleg Makin Pragmatis

Situasi ini menguatkan nuansa demokrasi minus ideologi. Platform dan program partai yang merupakan turunan dari ideologi partai hanya menjadi pemanis bibir para juru kampanye. Selebihnya lebih bergantung pada kerja politik menggalang suara. Mendongkrak popularitas dan mendulangnya menjadi poin elektabilitas.

Pemilu kita tak kalah seru dibanding liga sepakbola. Banyak kejutan di sana-sini. Apalagi setelah Daftar Calon Sementara (DCS) Pemilihan Umum Legislatif 2024 sudah diumumkan. Biasanya tidak terlalu banyak perubahan komposisi caleg hingga ditetapkan menjadi Daftar Calon Tetap (DCT). Peta persaingan antar caleg dalam satu dapil sudah mengemuka. Media pun mulai menyorot nama-nama beken yang menghiasi DCS. Dan di balik nama-nama itu terdapat gejala menarik terkait perpindahan calon legislatif dari satu partai ke partai lain. 

Kepindahan tak terduga terjadi dengan atau tanpa alasan yang jelas. Sebut saja kepindahan Denny Cagur dari Partai Amanat Nasional (PAN) ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Atau hengkangnya Guntur Romli dari PSI untuk berlabuh ke PDIP. Sebaliknya kader PDIP Eva Kusuma Sundari justru pindah ke Partai Nasdem. PDIP juga mencoret nama Budiman Sudjatmiko dan Effendi Simbolon dari line up daftar caleg yang mereka daftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Kans untuk meraih kursi melalui partai kuat agaknya makin terbuka bagi caleg populer. Ini yang menjadikan kepindahan Ernest Prakasa dari PSI ke Partai Golkar dapat difahami publik. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) telah putuskan pemilu nyoblos caleg bukan gambar partai. Mereka yang memiliki modal sosial dan popularitas yang tinggi punya kesempatan besar menyalip perolehan suara caleg yang secara urutan nomor berada di atasnya. 

Keputusan terkait sistem proporsional terbuka ini diapresiasi PKS sebagai bukti bahwa demokrasi masih hidup di Indonesia. Memang hanya PDIP yang mendukung coblos gambar partai. Banteng gemuk memang paling siap dengan sistem itu. Kaderisasi dan daya tawar partai itu sangat kuat. 

Kelemahan sistem proporsional terbuka adalah kecenderungan politik transaksional ‘beli suara’ calon pemilih oleh calon legislatif makin marak. Politik uang yang dibalut dana saksi dan pengawalan suara sudah menjadi rahasia umum. Sementara peran partai terkait penetapan nomor urut makin tak berarti.  

Memang, partai dan caleg tetap daling  saling membutuhkan. Maka patut diduga ada uang di balik kepindahan mendadak para caleg dari satu partai ke partai lainnya. Ada caleg yang memberi mahar kepada partai dan ada partai yang membeli atau membajak caleg dari partai lain dengan sejumlah komitmen pembiayaan politik. Apa mau dikata biaya politik saat ini teramat mahal. 

Situasi ini menguatkan nuansa demokrasi minus ideologi. Platform dan program partai yang merupakan turunan dari ideologi partai hanya menjadi pemanis bibir para juru kampanye. Selebihnya lebih bergantung pada kerja politik menggalang suara. Mendongkrak popularitas dan mendulangnya menjadi poin elektabilitas. 

Pada situasi ini inkonsistensi partai setali tiga uang dengan inkonsistensi sikap para caleg. Partai seakan hanya dipinjam benderanya untuk kepentingan sesaat. Begitu mudahnya para caleg berpindah ke lain hati. Tergantung  kalkulasi politik jangka pendek. Partai politik yang dalam iklim demokratik diharapkan mampu menjadi wadah kaderisasi politik terdegradasi peran dan fungsinya seakan menjadi makelar kursi untuk berbagai jabatan publik. 

Apalagi jumlah partai politik masih terlalu banyak untuk sebuah sistem presidensial. Kemiripan watak dan platform parpol banyak ditemui. Tak sedikit yang mengaku relijius nasionalis dan gamang memposisikan ideologi partai dalam visi dan misi kampanye politik. Tentu saja kita bisa berdalih bahwa inilah perjalanan proses demokrasi yang harus kita lalui. Pertanyaannya adalah sampai kapan politik transaksional ini dapat kita akhiri?

Pemilu kita tak kalah seru dibanding liga sepakbola. Banyak kejutan di sana-sini. Apalagi setelah Daftar Calon Sementara (DCS) Pemilihan Umum Legislatif 2024 sudah diumumkan. Biasanya tidak terlalu banyak perubahan komposisi caleg hingga ditetapkan menjadi Daftar Calon Tetap (DCT). Peta persaingan antar caleg dalam satu dapil sudah mengemuka. Media pun mulai menyorot nama-nama beken yang menghiasi DCS. Dan di balik nama-nama itu terdapat gejala menarik terkait perpindahan calon legislatif dari satu partai ke partai lain. 

Kepindahan tak terduga terjadi dengan atau tanpa alasan yang jelas. Sebut saja kepindahan Denny Cagur dari Partai Amanat Nasional (PAN) ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Atau hengkangnya Guntur Romli dari PSI untuk berlabuh ke PDIP. Sebaliknya kader PDIP Eva Kusuma Sundari justru pindah ke Partai Nasdem. PDIP juga mencoret nama Budiman Sudjatmiko dan Effendi Simbolon dari line up daftar caleg yang mereka daftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Kans untuk meraih kursi melalui partai kuat agaknya makin terbuka bagi caleg populer. Ini yang menjadikan kepindahan Ernest Prakasa dari PSI ke Partai Golkar dapat difahami publik. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) telah putuskan pemilu nyoblos caleg bukan gambar partai. Mereka yang memiliki modal sosial dan popularitas yang tinggi punya kesempatan besar menyalip perolehan suara caleg yang secara urutan nomor berada di atasnya. 

Keputusan terkait sistem proporsional terbuka ini diapresiasi PKS sebagai bukti bahwa demokrasi masih hidup di Indonesia. Memang hanya PDIP yang mendukung coblos gambar partai. Banteng gemuk memang paling siap dengan sistem itu. Kaderisasi dan daya tawar partai itu sangat kuat. 

Kelemahan sistem proporsional terbuka adalah kecenderungan politik transaksional ‘beli suara’ calon pemilih oleh calon legislatif makin marak. Politik uang yang dibalut dana saksi dan pengawalan suara sudah menjadi rahasia umum. Sementara peran partai terkait penetapan nomor urut makin tak berarti.  

Memang, partai dan caleg tetap daling  saling membutuhkan. Maka patut diduga ada uang di balik kepindahan mendadak para caleg dari satu partai ke partai lainnya. Ada caleg yang memberi mahar kepada partai dan ada partai yang membeli atau membajak caleg dari partai lain dengan sejumlah komitmen pembiayaan politik. Apa mau dikata biaya politik saat ini teramat mahal. 

Situasi ini menguatkan nuansa demokrasi minus ideologi. Platform dan program partai yang merupakan turunan dari ideologi partai hanya menjadi pemanis bibir para juru kampanye. Selebihnya lebih bergantung pada kerja politik menggalang suara. Mendongkrak popularitas dan mendulangnya menjadi poin elektabilitas. 

Pada situasi ini inkonsistensi partai setali tiga uang dengan inkonsistensi sikap para caleg. Partai seakan hanya dipinjam benderanya untuk kepentingan sesaat. Begitu mudahnya para caleg berpindah ke lain hati. Tergantung  kalkulasi politik jangka pendek. Partai politik yang dalam iklim demokratik diharapkan mampu menjadi wadah kaderisasi politik terdegradasi peran dan fungsinya seakan menjadi makelar kursi untuk berbagai jabatan publik. 

Apalagi jumlah partai politik masih terlalu banyak untuk sebuah sistem presidensial. Kemiripan watak dan platform parpol banyak ditemui. Tak sedikit yang mengaku relijius nasionalis dan gamang memposisikan ideologi partai dalam visi dan misi kampanye politik. Tentu saja kita bisa berdalih bahwa inilah perjalanan proses demokrasi yang harus kita lalui. Pertanyaannya adalah sampai kapan politik transaksional ini dapat kita akhiri?

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Vidiopedia

Freeport-McMoRan, perusahaan asal Amerika Serikat yang memiliki tambang emas terbesar di dunia, salah satunya di Indonesia. Sejak lama, perusahaan ini jadi sorotan karena masalah...