Connect with us

Hi, what are you looking for?

Perspektif

Peran Strategis Komisaris Independen Bagi Proteksi Saham Minoritas

Komisaris independen menjadi strategis dan penting karena posisinya yang tak memiliki hubungan apa pun dengan direksi, anggota dewan komisaris lain dan pemegang saham mayoritas, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuanya untuk bertindak independen atau semata-mata untuk kepentingan perusahaan.

Oleh: Muhammad Muchlas Rowi

KRISIS menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari dinamika sebuah perusahaan. Ia menjadi semacam batu ujian yang harus dilewati untuk sampai pada tujuan. Jika berhasil melewatinya, maka tangga kesuksesan akan diraih.

Sayangnya, tak banyak perusahaan yang mampu melihat krisis sebagai ujian dan momentum untuk melakukan lompatan. Kebanyakan, termasuk perusahaan milik negara atau BUMN melihat krisis sebagai siklus semata atau bahkan mitos.

Usaha atau bisnis menurut mereka, selalu berada dalam siklus; konsolidasi, equilibrium dan inovasi. Meski resesi, depresi hingga krisis tak dapat dihindarkan, namun bisnis akan kembali pada siklus awal dan melakukan konsolidasi.

Akibatnya, krisis justru malah menjadi momentum aji mumpung. Karena dianggap sebagai siklus dan akan datang pada waktunya, maka banyak orang berpikir sebelum krisis terjadi, kepentingan pribadi atau kelompok harus diamankan. Kasus Bank Bali, Bank Century, dan terakhir Asuransi Jiwasraya paling tidak menjadi bukti.

Untuk kasus yang terakhir, yaitu pada PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) persoalan muncul karena kurang maksimalnya penerapan tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG). Terutama karena pengelolaan investasi yang dilakukan tak sesuai aturan.

Padahal jelas sekali, bila Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 27/POJK/05/2018 menyebutkan bahwa perusahaan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penempatan investasi (pasal 5 ayat 1).

Berdasarkan aturan tersebut, perusahaan besar seperti Jiwasraya mestinya memperketat penentuan jenis instrumen atau proporsi investasi di instrumen yang berisiko oleh para fund manager. Tapi nyatanya, manajemen Jiwasraya seolah malah melakukan pembiaran pembelian nilai asset yang anjlok hingga nilai sangat rendah.

PT Jiwasraya pada akhirnya mengalami gagal bayar dan menjadi semacam anti klimaks dari cermin tatakelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang belum good coorporate governance (GCG).

GCG Kunci Atasi Krisis
Implementasi GCG sejatinya sangat vital, karena dapat membantu perusahaan keluar dari krisis ekonomi dan bermanfaat bagi perusahaan-perusahaan yang harus menghadapi era globalisasi, mengikuti perkembangan ekonomi global dan pasar dunia yang kompetitif.

Pelaksanaan GCG merupakan terapi paling manjur untuk membangun kepercayaan antara pihak manajemen dan penanam modal berserta krediturnya, sehingga pemasukan modal bisa terjadi kembali.

Pada gilirannya, GCG bukan cuma bisa membantu keluar dari krisis dan proses pemulihan ekonomi semata, tapi juga bisa melakukan lompatan di saat krisis.

Sejumlah peneliti dari Institute Teknologi Bandung (ITB) pernah melakukan riset untuk melihat perusahaan-perusahaan Indonesia mana yang kinerjanya meningkat ketika krisis tahun 2008 dan 2014. Riset dilakukan terhadap 600 perusahaan baik BUMN maupun swasta. Hasilnya, dari 600 perusahaan tersebut, hanya 30 perusahaan yang kinerjanya meningkat saat krisis tahun 2008 dan 2014.

Ada beberapa resep dan rahasia unik yang membuat 30 perusahaan tersebut mampu meningkatkan kinerjanya pada saat krisis tahun 2008 dan 2014. Yang paling menarik adalah budaya hemat, mengelola risiko keuangan, dan berinvestasi secara optimal.

Jika disimpulkan, maka korporasi yang mampu meningkatkan kinerjanya pada saat krisis 2008 dan 2014 adalah perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance (GCG).

Kesimpulan serupa sebetulnya juga pernah didapatkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) tentang penyebab krisis 1998. Bahwa, penyebab krisis ekonomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia pada tahun 1998 adalah adanya mekanisme pengawasan dewan komisaris (board of comissioner) dan komite audit (audit committee) suatu perusahaan yang tak berfungsi dengan efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham. Menurut ADB, pengelolaan perusahaan kala itu belum terlaksana secara professional.

Ya, dalam praktiknya tata kelola perusahaan yang kurang baik memang membuat mekanisme pengawasan seringkali tidak berfungsi secara efektif dalam melindungi pemegang saham, terutama saham minoritas. Soal transparansi dan ketaatan dalam mengikuti aturan juga menjadi persoalan serius.

Tugas Profetik Komisaris Independen
Karena itu, untuk menjamin dan mengamankan hak-hak para pemegang saham, muncul konsep pemberdayaan komisaris sebagai salah satu wacana penegakkan GCG, utamanya komisaris independen. Itu karena posisinya menjadi sangat strategis.

Tentu saja wacana tersebut dibangun agar pengawas/komisaris independen tetap berada pada posisinya yang independen. Ini dilakukan agar ada keseimbangan baik di dalam maupun di luar perusahaan. Baik antara pemegang saham mayoritas, maupun pemegang saham minoritas.

Prinsip fairness dalam GCG bahkan dengan jelas memformulasikan bahwa kepentingan pemegang saham minoritas jangan diacuhkan. Karena harus ada keseimbangan hak dan kewajiban antara mayoritas dan minoritas.

Komisaris independen menjadi strategis dan penting karena posisinya yang tak memiliki hubungan apa pun dengan direksi, anggota dewan komisaris lain dan pemegang saham mayoritas, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuanya untuk bertindak independen atau semata-mata untuk kepentingan perusahaan.

Dalam beberapa perusahaan, termasuk BUMN, tugas dewan pengawas/komisaris independen sangat spesifik dan bahkan profetik. Misalnya di Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Dewan pengawas independen harus memastikan amanat peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan penugasan negara untuk menyelenggarakan usaha penjaminan bagi UMKM dan Koperasi (UU No. 1 tahun 2016 tentang Penjaminan).

Misi profetik perusahaan tersebut harus betul-betul diinsafi sebagai landasan penting bagi pertumbuhan sektor usaha nasional, khususnya koperasi dan UMKM, terutama dalam mengakses pembiayaan/permodalan.

Secara spesifik pula, dewan pengawas independen di Perum Jamkrindo harus memberikan dissenting opinion dari direksi atau anggota dewan pengawas lainnya ketika hendak memutuskan kebijakan perusahaan dan memastikan kebijakan perusahaan diturunkan dan dilaksanakan hingga level terbawah.

Dengan tugas spesifik dan sekaligus profetik tersebut, maka jelaslah bila posisi dewas independen menjadi teramat strategis untuk melakukan pengawasan secara lebih maksimal agar kinerja perusahaan BUMN menjadi kian baik. Satu sisi ia membawa kepentingan Kementerian BUMN (Pemerintah) sebagai pemilik saham, sisi lain tentu saja kepentingan publik sebagai pemilik kedaulatan di Republik Indonesia.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Perspektif

Mengejutkan sekaligus membanggakan, film berjudul ‘Autobiography’ akhirnya mewakili Indonesia untuk berkompetisi di Piala Oscar 2024. Mengejutkan, karena meski merupakan karya perdana Makbul Mubarak, namun...

Ragam

Jumlah responden 1.200 orang dianggap cukup untuk mewakili berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi

Sosok

Ririek Adriansyah adalah contoh nyata dari seseorang yang bangkit dari kesulitan untuk mencapai puncak kesuksesan. Dari pemungut puntung rokok hingga memimpin Telkom Indonesia, perjalanan...

Vidiopedia

Freeport-McMoRan, perusahaan asal Amerika Serikat yang memiliki tambang emas terbesar di dunia, salah satunya di Indonesia. Sejak lama, perusahaan ini jadi sorotan karena masalah...