Nglurug Tanpa Bala. Filosofi Jawa agaknya relevan dengan langkah-langkah Pak Lurah dan sejumlah elit di negeri ini dalam praktik politik Indonesia modern. Ini kata tetangga saya. Frasa ini terdiri dari kata “nglurug” yang berarti menyerang dan “bala” yang berarti pasukan. Jadi, nglurug tanpa bala berarti menyerang tanpa menggunakan pasukan.
Tetangga saya yang memang mendalami Kejawen ini melanjutkan presentasinya. Menurutnya, Pak Lurah tidak pernah bersikap frontal terhadap lawan politik. Setidaknya di panggung depan politik elektoral. Sikap ini selaras dengan filosofi Nglurug Tanpa Bala. Tidak perlu menggunakan kekuatan fisik atau kekerasan untuk mencapai tujuan. Kita bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih damai dan bijaksana, misalnya dengan berdialog, bernegosiasi, atau mencari win-win solution.
Dalam demokrasi perbedaan itu niscaya. Konsekuensi dari check and balances. Perbedaan bisa jadi konflik bila tak terkelola dengan baik. Maka tantangan bagi seorang pemimpin adalah bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara yang damai dan bijaksana. Selalu membuka ruang dialog dan menyelesaikannya dengan cara yang damai.
Ketika kita ingin mencapai tujuan tertentu, kita bisa mencari solusi yang paling tepat dan tidak merugikan orang lain. Ketika kita ingin menyelesaikan konflik, kita bisa menggunakan mediasi atau negosiasi untuk mencari solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. Atau setidaknya sebagian besar anak bangsa.
Filosofi nglurug tanpa bala menuju ke arah perdamaian dan harmoni. Selaras dengan itu filosofi kepemimpinan Jawa secara keseluruhan juga menekankan pentingnya keseimbangan dalam segala hal. Seorang pemimpin harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan alam. Hal yang relevan di tengah isu perubahan iklim.
Kembali ke soal strategi Pak Lurah berbasis filosofi di atas. Kini komposisi bakal calon presiden telah mengubah peta politik. Setidaknya untuk sementara waktu. Orkestrasi baru sudah menemukan partiturnya. Masing-masing kandidat maju dengan gembira. Kalaupun kalah di pemilihan presiden yang penting partai pendukung dan pengusungnya dapat efek ekor jas di pemilihan legislatif dan eksis di Senayan. Dalam bahasa pecinta sepakbola, cukuplah tidak terdegradasi dari liga utama.
Hampir di semua sub-kultur, tidak hanya dalam budaya Jawa ada nilai dimana seorang pemimpin harus memimpin dengan hati. Frasa ini berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu memahami dan menginspirasi masyarakat yang dipimpinnya. Ia harus menjadi sosok yang dapat dipercaya dan dicintai. Ini juga bagian dari elaborasi Nglurug Tanpa Bala.
Filosofi ini berkembang di masa feodal. Maka menjadi tantangan bagi para pemimpin era demokrasi untuk mengelaborasi dan menerapkannya di era modern. Politik adalah seni mengelola kemungkinan. Tidak hanya soal siapa yang benar. Politik mencari titik temu. Hanya mereka yang bijaksana akan menjadi politikus sejati. Negarawan yang meninggalkan legacy.