Melihat tayangan televisi atau menggulir berita di gadget hari ini ibarat petitih lama, maju kena mundur pun kena. Riuh ramai dengan isu yang itu-itu saja, soal calon presiden dan wakilnya.
Baik yang suka atau tidak pada politik, perasaannya sama-sama tersiksa. Terutama kalangan anak muda, yang menurut survei kompas, jumlahnya sekitar 115 juta orang atau sekira 77,9 persen.
Terasa sekali tidak ada kemajuan berarti dari praktik berdemokrasi kita. Bahkan cenderung mengalami degradasi luar biasa. Anak muda seringkali hanya jadi objek demokrasi semata. Namun sesekalinya jadi subjek, anak muda justru merusak citra kaumnya.
Menjadi pemimpin atau atasan di usia muda memang jadi suatu kebanggaan dan prestasi. Hanya saja, tak sedikit orang yang meragukan kemampuan anak muda sebagai pemimpin muda di era saat ini.
Menjadi pemimpin di era saat ini alih-alih menjadi pilihan pahit. Karena selain mesti berhadapan dengan tanggungjawab pekerjaan yang lebih besar, tentu juga harus berhadapan dengan beragam karakter anggota tim yang berbeda. Tidak jarang kita lihat ada dilema bagi para pemimpin muda usia. Anak muda dipandang lebih bersikap pragmatis dan antipati terhadap jejak historis.
Kita harus garis bawahi, anggapan ini muncul di era sekarang. Karena sebetulnya, dahulu di zaman kemerdekaan, undang-undang kita justru mengakomodir munculnya para pemimpin muda.
Dalam konstitusi RIS, Pasal 69 misalnya, di sebutkan di ayat tiganya bahwa ‘Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun.
Sementara di UUDS 1950, pasal 45 ayat (5) disebutkan, ‘presiden dan wakil presiden harus warga negara indonesia yang telah berusia 30 tahun.
Pemimpin di era awal pergerakan sejatinya banyak muncul dari kalangan muda. Tentu ini soal spirit dan kesempatan. Anak-anak muda saat itu, karena kondisi punya semangat belajar yang tinggi, ingin keluar dari penajajahan akhirnya punya tingkat literasi yang juga tinggi.
Situasinya mirip apa yang dialami kaum Yahudi. Lantaran sering dibully dan disisihkan, mereka jadi terdesak dan berpikir keras bagaimana keluar dari situasi itu. Literasi pun jadi pilihan, banyak dari mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Punya kemampuan menemukan sessuatu yang baru. Dan yang pasti punya cuan lebih besar dibanding kaum mana pun di dunia ini.
Bagaimana memunculkan kesadaran di kalangan anak muda agar tak terjebak dalam dilema. Apa betul selalu harus melewati batu usian dan rasa kecewa?
Teknologi informasi dan digital sebetulnya menawarkan dua manfaat utama kepada anak muda. Yaitu daya kreasi [creation power] dan kekuatan penyiaran [broadcasting power]. Keduanya bisa dicapai dengan cepat lewat proses yang mudah dan sederhana.
Hanya saja, mereka perlu kita kasih guideline, juga pendampingan agar selain meraih dua keuntungan di atas dengan penerapan budaya digital, etika digital, dan kemanan digital. Pada titik inilah, kita akan dapat melahirkan apa yang dinamakan masyarakat super pintar atau masyarakat 5.0.
