Politisi PDIP Aria Bima mensinyalir ada pertemanan toxic di sekitar Presiden Joko Widodo. Istilah toxic relationship ini biasa dipakai anak muda untuk menggambarkan pertemanan yang ‘meracuni’ dan membawa kebiasaan-kebiasaan dan sikap yang buruk.
Jika yang terpapar ring 1 istana tentu akan menjadi persoalan yang serius. Dampaknya tentu akan mempengaruhi kehidupan bernegara. Karena di sekitar Presiden pasti ada inner circle yang merepresentasikan ‘kuasa’ atas baik-buruknya sebuah bangsa.
Lembaga kepresidenan sendiri bukan hanya sosok sang Presiden, ada individu dan lembaga yang mengendalikan istana dengan intens dari waktu ke waktu. Sebut saja formalnya Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kantor Staf Presiden. Belum lagi para Menteri Koordinator yang juga memiliki hubungan dekat dengan pengendalian administrasi Pemerintahan.
Lingkaran dalam lainnya bersifat informal. Jabatan dan posisinya mungkin tidak terlalu strategis namun pandangan-pandangannya menjadi menu utama sarapan Presiden. Termasuk dalam menentukan apa yang akan dilakukan menghadapi Pilpres 2024. Lingkaran dalam ini sangat mempengaruhi kebijakan strategis.
Hubungan yang beracun atau toxic relationship adalah suatu hubungan di mana perilaku yang merugikan mendominasi dan membuat seseorang merasa tidak bahagia. Hubungan ini dapat melibatkan perilaku seperti tidak menghargai, tidak jujur, perilaku yang mengendalikan, atau kurangnya dukungan.
Salah satu ukurannya adalah dalam hubungan yang sehat, ada keinginan bersama untuk melihat satu sama lain sukses dalam semua aspek kehidupan. Namun, dalam hubungan yang toxic, setiap pencapaian menjadi kompetisi dan waktu yang dihabiskan bersama tidak lagi terasa positif. Di depan panggung politik para politisi bisa saja mengumbar kemesraan dan sikap demokratis. Namun demi memenangkan kompetisi politik memotong langkah lawan dengan segala cara dapat saja dilakukan.
Dalam hubungan yang toxic perbincangan menjadi sarat dengan celaan. Sebagian besar percakapan diisi dengan sarkasme atau kritik dan didorong oleh penghinaan, bukan kebaikan dan saling menghargai. Di tahun politik aroma perbincangan toxic seperti mendapatkan panggungnya atas nama demokrasi.
Semua langkah lawan politik dianggap salah. Mencari kesalahan tanpa data dan argumen yang kuat. Asal menyalahkan dan menyingkirkan pesaing. Bukan tidak mungkin di lingkaran dalam kekuasaan ada kompetisi yang tidak sehat demi kedekatan dengan Presiden. Mereka yang punya jiwa toxic akan menyalahkan orang lain atas segala sesuatu dan membuat seseorang merasa seolah-olah orang lain tidak dapat melakukan apa pun dengan benar. Mereka mungkin melakukannya dengan meremehkan, mengejek, atau mempermalukan seseorang di depan umum.
Istilah cebong, kampret dan kadrun juga menandakan toxicnya individu atau kelompok penggunanya. Hinaan yang ditujukan untuk menghina dan meremehkan minat, penampilan, atau pencapaian semuanya dihitung sebagai penyalahgunaan verbal.
Terakhir, tanda-tandanya berupa gaslighting atau teknik manipulasi yang membuat seseorang meragukan perasaan, naluri, dan kewarasannya sendiri. Banyak sekali judul konten, hastag, dan ungkapan di ruang publik yang mengklaim dirinya yang paling berakal sehat, mempertanyakan kewarasan lawan politik, dan sejenisnya.
Maka, perlu dikaji benar siapa dan dimana toxic relationship kini bersemayam. Di Istana, di gedung parlemen, di tubuh partai politik, atau di ruang-ruang maya?