Kalkulasi kuantitatif menunjukkan Indonesia berpeluang besar meraih bonus demografi. Dengan jumlah usia produktif yang semakin meningkat dalam komposisi demografis, Indonesia memiliki modal untuk menjadi negara yang produktif di masa depan. Tentu saja harus disertai dengan ekosistem yang mendukung, kebijakan yang tepat, peran negara yang optimal, dan kemampuan mengelola negara agar stabil secara politik dan tumbuh secara ekonomi.
Semakin maju sebuah negara, kompetisi antar warganya akan semakin ketat. Kompetisi hidup yang ketat cenderung menekan keinginan warga untuk memiliki anak. Hal inilah yang terjadi dengan negara maju dan negara yang beranjak maju. Jepang, Korea Selatan dan Singapura mengalami penurunan angka kelahiran yang mengancam demografi mereka. Disusul Thailand yang saat ini angka kelahirannya hanya 1,08.
Idealnya angka kelahiran di posisi 2,1 seperti Indonesia saat ini. Dengan dua anak yang lahir dari sebuah pasangan maka anak-anak tersebut akan menggantikan orang tuanya kelak. Sehingga ada yang bekerja menopang kehidupan kedua orang tuanya yang sudah pensiun atau lanjut usia. Pun bila orang tuanya telah tiada mereka akan membantu menghidupi penduduk yang berada di usia tidak produktif. Baik yang masih belum bekerja maupun mereka yang sudah renta.
Kelahiran bukan hanya tentang anugerah kehidupan, tetapi juga fondasi dari struktur populasi suatu negara. Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) menjadi tonggak yang memetakan bagaimana suatu bangsa mengatur pertumbuhan penduduknya. Di Indonesia, TFR, yang merupakan rata-rata kelahiran per perempuan selama masa suburnya, menjadi peta arah keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) dan dinamika sosial ekonomi.
Hasil survei Badan Pusat Statistik 2020 menjadi sorotan dalam narasi perubahan. Dengan TFR 2,10, Indonesia mengarah pada taraf ideal dalam pertumbuhan populasi. Namun, penurunan signifikan sebesar 0,39 dalam satu dekade adalah pencapaian luar biasa. Inilah bagian terang dari upaya panjang dalam program KB yang dicanangkan sejak 1970 oleh BKKBN.
Pandemi COVID-19, saat banyak lembaga memprediksi lonjakan kelahiran, justru membawa paradoks. Meskipun ada penurunan penggunaan kontrasepsi dan akses kesehatan terbatas, Indonesia mampu mencegah baby boom yang diperkirakan. Sebaliknya, pandemi lebih cenderung menunda kelahiran sebagai respons terhadap resesi ekonomi yang tak terhindarkan.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat tantangan yang mengemuka. Fenomena penurunan TFR dalam satu dekade memunculkan kekhawatiran akan “resesi seks”. Namun, realitasnya masih menunjukkan surplus kelahiran. Daerah tertentu di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, dan Maluku, masih mencatat TFR tinggi.
Ini menggambarkan lanskap kompleks yang memerlukan strategi lebih spesifik. Meski ada penurunan secara keseluruhan, ada wilayah yang menjadi fokus untuk terus memperkuat program KB. Upaya bersinergi antara pemahaman akan kebutuhan lokal dan implementasi program yang tepat dapat menjadi kunci menyeimbangkan kelahiran dengan pertumbuhan ekonomi dan sosial.
Dalam menghadapi masa depan, Indonesia tidak hanya mengelola angka, tetapi juga membangun kualitas kehidupan. Diskusi terbuka dan inklusif mengenai harapan keluarga, pendidikan, akses layanan kesehatan, dan kesetaraan gender menjadi pondasi transformasi yang lebih besar.
Maka, mengendalikan kelahiran bukan sekadar mengejar angka ideal, tetapi juga merangkul perubahan sosial dan ekonomi. Indonesia memiliki catatan cemerlang dalam menyeimbangkan angka kelahiran total, namun tantangan wilayah dan perubahan konteks sosial menuntut terus beradaptasi. Dengan dialog yang terbuka, perencanaan yang tepat, serta kesadaran akan dinamika lokal, Indonesia dapat mengukir masa depan yang seimbang dan inklusif untuk generasi mendatang.