Oleh: Abi Rekso Panggalih
Dalam demokrasi, tidak ada yang bisa menjanjikan kemenangan selain rakyat itu sendiri. Tentu partai politik adalah salah satu instrumen penting dalam proses demokrasi, meski itu bukan satu-satunya. Rakyat juga punya hak dan kontribusi dalam menentukan saluran aspirasi politiknya.
Jika organisasi ‘Kerelawanan’ adalah saluran alternatif dari aspirasi politik rakyat. Maka itu sebuah sikap politik yang harus dihormati dan berdaulat. Lantas jika ada yang menegasikan peran dan fungsi gerak kerelawanan sebagai realita politik, sejatinya dirinya semakin jauh dari denyut rakyat.
Jika partai politik secara terang-terangan menegasikan peran relawan dalam sebuah suksesi politik. Sekali lagi, politik bukan semata tentang menang dan berkuasa. Perlu kita ingat, politik punya agenda dalam mendorong partisipasi rakyat.
Perlu menjadi catatan penting, bahwa Era-Jokowi adalah satu periodesasi bertumbuhnya politik kerelawanan. Kemenangan Presiden Jokowi baik yang pertama maupun yang kedua, murni dimenangkan oleh para relawan Jokowi.
Muncul sinisme terhadap kelompok relawan dalam proses suksesi Jokowi. Mereka yang sinis, adalah satu golongan elit politik yang sudah mapan dalam pengelolaan kekuasaan.
Juga muncul sinisme terhadap kelompok relawan dalam proses suksesi Jokowi. Mereka yang sinis, adalah satu golongan elit politik yang sudah mapan dalam pengelolaan kekuasaan sebagai sendi bernegara.
Sebagian elit partai politik merasa harus menggelar meja rivalitas untuk mendapatkan satu fungsi pemerintahan. Mereka adu tanduk, dengan kader-kader relawan Jokowi. Begitu juga kita tahu, banyak sekali aktor relawan yang mendapatkan mandatori dalam fungsi pemerintahan.
Relawan Pondasi Politik Jokowi
Dalam banyak catatan, suksesi Presiden Jokowi 2019 justru banyak diperankan oleh politisi non-parpol. Relawan, kelompok profesional dan organisasi perjuangan sektoral adalah ujung tombak suksesi Presiden Jokowi.
TKN pada saat itu yang dipimpin oleh Erick Thohir, dituntut untuk mampu melakukan konsolidasi kekuatan rakyat untuk fokus pada suksesi Presiden Jokowi. Justru pada waktu yang sama, partai pendukung utama Jokowi harus kembali pada persoalan kepartaian mereka. Mereka kembali bekerja untuk Pemilu Legislatif.
Sedangkan di luar struktur TKN, ada kekuatan seperti PROJO besutan Budi Arie Setiadi, Seknas Jokowi pimpinan Alm. M. Yamin, Pospera yang dimiliki secara penuh dan utuh oleh Adian Napitupulu. Setidaknya, publik dan para akademisi menyoroti na ma-nama relawan itu sebagai penyangga kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019.
Sebagaimana kita mengikuti Budi Arie adalah satu-satunya pimpinan relawan Jokowi yang diajak dalam panggung kabinet. Itu sekaligus membenarkan bahwa Budi Arie adalah sosok dan figur yang diberikan mandat tanggung jawab untuk melakukan konsolidasi kekuatan politik Jokowi.
Masih ada yang ingat, MUSRA? Musyawarah Rakyat yang diselenggarakan oleh banyak kelompok relawan militansi Jokowi. Adalah wujud konkret konsolidasi politik sekaligus asesmen kandidasi Calon Presiden pilihan rakyat yang di dukung Jokowi.
Secara heuristik dukungan Jokowi ke Prabowo telah disimpulkan jauh sebelum ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka.
Begitu telanjang secara dukungan verbal, dalam panggung-panggung MUSRA bahwa Joko Widodo sebagai figur politik telah menentukan dukungan sepenuhnya kepada Prabowo Subianto. Hal ini bahkan secara heuristik telah disimpulkan jauh sebelum ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wakil Presiden pendamping Prabowo.
Organisasi relawan bukan seperti yang didefinisikan oleh Megawati Soekarno Putri, bahwa gerakan bukan aspek penting dalam kontestasi elektoral. Sama sekali keliru, pengorganisiran organ relawan justru jauh lebih fleksibel dan menjadi artikulasi dukungan langsung terhadap kandidat. Artinya apa, lebih banyak para pemilih datang ke TPS karena motivasi capres ketimbang caleg.
Memastikan Transformasi Dukungan Gerbong Jokowi
Dalam elektoral satu suara tetap menentukan, apalagi satu kekuatan politik yang terorganisir. Relawan Jokowi adalah satu kekuatan elektoral penting. Betapa disayangkan jika kekuatan ini lepas dari spirit keberlanjutan Presiden Jokowi. Maka, dukungan itu tidak akan terkonversi menjadi manifes kekuasaan setelah pemilu usai.
Ambil saja sebuah fenomena relasi kekuasaan para menteri kabinet Presiden Jokowi. Muncul banyak analisis, bahwa Menteri PUPR Basuki dan Menteri Perhubungan Budi Karya, serta Wamen BUMN Tiko mendukung paslon Ganjar-Mahfud.
Sebaliknya rumors bahwa Menteri Komunikasi dan Informasi Budi Arie Setiadi ditugasi oleh Presiden Jokowi untuk meyakinkan para menteri mendukung Prabowo-Gibran juga menguat. Rumors ini bisa saja valid karena Budi Arie melakukan banyak pertemuan tertutup dengan para menteri Jokowi. Sebab tidak dipungkiri bahwa para para Menteri Jokowi memiliki kekuatan politiknya masing-masing.
Bahkan, semakin hari keyakinan para Menteri Jokowi yang pada awalnya berposisi mendukung Ganjar-Mahfud kian hari kian redup. Ini diakibatkan karena survey Ganjar-Mahfud yang makin hari makin jeblok. Pada waktu yang sama dukungan politik “Gerbong Jokowi” mulai bermigrasi kepada Prabowo-Gibran.
Saya menilai, makin hari kekuatan politik Prabowo-Gibran kian optimis. Semarak kemenangan sudah semakin dekat dan melekat.
Saya juga meyakini bahwa dalam waktu dekat akan semakin banyak para tokoh partai pendukung Ganjar-Mahfud mulai tersadarkan untuk kembali menjadi kekuatan “Gerbong Jokowi” memenangkan sekali putaran Prabowo-Gibran.