Poin Penting :
- Tekanan Ekonomi yang Signifikan. Kelas menengah di Indonesia semakin tertekan secara ekonomi pada tahun 2024, dengan inflasi harga pangan menyebabkan sebagian besar penghasilan habis untuk makanan dan minuman. Banyak warga yang terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Peningkatan Pengeluaran untuk Kebutuhan Pangan. Data Mandiri Spending Index menunjukkan bahwa pada Mei 2024, porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan dan minuman mencapai 26%, meningkat tajam dari 13,9% pada Januari 2023. Kenaikan ini mencerminkan dampak inflasi yang signifikan pada pengeluaran rumah tangga. Ketimpangan Daya Beli Antar Kelompok. Kelompok menengah dan kelas bawah paling merasakan tekanan ekonomi, dengan tabungan yang menurun dan penghasilan yang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, kelompok atas mengalami peningkatan tabungan dan daya beli, didukung oleh pendapatan dari investasi, menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar dalam kondisi ekonomi masyarakat.
JANGANKAN menabung, bahkan tabungan pun harus terkuras demi memenuhi kebutuhan hidup. Itulah gambaran kondisi keuangan sebagian besar masyarakat kita saat ini yang berada di lapisan menengah ke bawah. Pada tahun 2024 ini, kelas menengah di Indonesia menghadapi tekanan ekonomi yang semakin besar. Harga barang-barang naik tanpa kenaikan penghasilan.
Inflasi harga pangan yang signifikan, memaksa sebagian besar penghasilan warga habis hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman. Terkurasnya tabungan berarti ketidakpastian finansial yang lebih besar di kalangan kelas menengah. Jika ada kebutuhan mendesak, terpaksa harus meminjam.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, harga makanan, minuman, dan tembakau di Indonesia menjadi penyumbang inflasi terbesar, mencapai 1,07% per Desember 2023. Inflasi bulanan pada Desember 2023 adalah yang tertinggi sepanjang tahun, dengan inflasi kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 1,49%. Pada triwulan I-2024 (q-to-q): Inflasi 0,37 persen terhadap triwulan IV-2023. Dan secara tahunan (y-on-y): Inflasi 3,05 persen terhadap triwulan I-2023.
Sementara itu, banyak yang penghasilannya stagnan. Penyebabnya bermacam-macam. Yang paling mendasar karena keterbatasan akses kalangan kelas menengah-bawah ke pendidikan dan pelatihan keterampilan. Keterampilan yang relevan dengan pasar kerja dapat membantu meningkatkan peluang pekerjaan dan penghasilan.
Penyebab lainnya adalah struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh sektor informal dan pekerjaan dengan upah rendah. Banyak pekerja kelas menengah-bawah bekerja di sektor informal, yang sering kali memiliki ketidakstabilan penghasilan. Disamping itu pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dapat mempengaruhi penghasilan berbagai kelompok masyarakat. Beberapa wilayah atau sektor mungkin mengalami pertumbuhan lebih cepat daripada yang lain.
Bukan tidak mungkin ini menjadi salah satu gejala middle-income trap atau jebakan penghasilan kelas menengah. Jebakan yang dapat membuat Indonesia tak segera beranjak menjadi negara berpenghasilan tinggi dan gagal menjadi negara maju.
Kelas menengah bawah di Indonesia terdiri dari individu atau keluarga yang memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi sering kali terbatas dalam hal pengeluaran untuk barang-barang sekunder dan tersier. Pendapatan bulanan mereka biasanya berada di kisaran Rp 3 juta hingga Rp 8 juta, cukup untuk gaya hidup yang sederhana tetapi tidak cukup untuk menabung secara signifikan atau berinvestasi dalam jumlah besar.
Mereka mungkin memiliki aset seperti rumah kecil atau kendaraan sederhana, dan seringkali harus mengandalkan pinjaman atau cicilan untuk pembelian besar. Pendidikan biasanya mencapai tingkat menengah atau diploma, dan pekerjaan mereka umumnya berada di sektor formal dengan keterampilan yang sedang, seperti karyawan administrasi, pekerja pabrik, atau pedagang kecil. Tantangan utama mereka adalah menghadapi kenaikan biaya hidup tanpa peningkatan pendapatan yang sepadan, yang membuat mereka rentan terhadap fluktuasi ekonomi.
Kondisi ekonomi yang menekan ini diungkapkan oleh Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, yang menjelaskan bahwa tekanan tersebut dapat dilihat dari data Mandiri Spending Index (MSI). Menurut Andry, pengeluaran masyarakat saat ini lebih terarah pada kebutuhan supermarket, yang biasa digunakan sebagai proxy untuk belanja makanan dan minuman. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan pangan menjadi prioritas utama, mengindikasikan bahwa kelas menengah sedang berjuang untuk menjaga keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran mereka.
Data MSI menunjukkan peningkatan signifikan dalam porsi penghasilan yang digunakan untuk kebutuhan makanan dan minuman dari tahun 2023 hingga 2024. Pada Januari 2023, sekitar 13,9% dari penghasilan digunakan untuk kebutuhan primer. Angka ini meningkat menjadi 16,6% selama bulan puasa dan Lebaran pada tahun yang sama. Namun, pada Mei 2024, porsi penghasilan yang digunakan untuk kebutuhan makanan dan minuman melonjak drastis hingga mencapai 26%. Ini menunjukkan peningkatan hampir dua kali lipat dalam waktu yang relatif singkat, mencerminkan dampak dari inflasi harga pangan yang meroket.
Kenaikan harga bahan pokok yang signifikan tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan alokasi penghasilan yang lebih besar untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan pengeluaran untuk barang-barang non-primer menjadi sangat terbatas. Dengan sebagian besar penghasilan yang digunakan untuk membeli makanan dan minuman, kelas menengah mengalami kesulitan dalam membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Kondisi ini tidak hanya mempersempit daya beli mereka, tetapi juga membatasi kemampuan mereka untuk menabung dan berinvestasi.
Tekanan ekonomi paling dirasakan oleh kelas menengah dan kelas bawah. Andry Asmoro menyebutkan bahwa kelompok ini mengalami penurunan daya beli yang signifikan. Data simpanan masyarakat di bank menunjukkan bahwa tabungan kelompok masyarakat terbawah sempat turun ketika harga makanan pokok naik. Namun, angka tersebut belakangan melandai seiring dengan pengucuran bantuan sosial dari pemerintah.
Sementara itu, indeks belanja kelompok menengah-bawah stagnan, yang berarti mayoritas penghasilan mereka terus tergerus oleh kenaikan harga bahan pangan, dan jumlah tabungan mereka juga berkurang. Kondisi ini memaksa banyak dari mereka untuk menggunakan tabungan yang ada demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “makan tabungan”.
Berbeda dengan kelompok menengah dan bawah, kelompok atas cenderung tidak terlalu terdampak oleh kenaikan harga bahan pokok. Bahkan, tabungan kelompok atas mengalami kenaikan, didukung oleh pendapatan dari investasi di saham maupun obligasi. Kelompok ini memiliki daya beli yang terjaga dengan baik, memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan simpanan mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan yang signifikan dalam dampak ekonomi di berbagai lapisan masyarakat.
Kelas menengah atas di Indonesia terdiri dari individu atau keluarga yang memiliki pendapatan cukup tinggi, memungkinkan mereka menikmati kenyamanan dan beberapa kemewahan. Pendapatan bulanan mereka biasanya berkisar antara Rp 8 juta hingga Rp 20 juta, cukup untuk menabung secara signifikan dan berinvestasi dalam berbagai instrumen keuangan seperti saham atau properti.
Mereka memiliki aset yang lebih banyak dan lebih berharga, seperti rumah yang lebih besar, kendaraan mewah, dan seringkali investasi dalam properti atau usaha kecil. Tingkat pendidikan mereka umumnya lebih tinggi, seringkali lulusan universitas atau pasca sarjana, dan mereka bekerja di posisi yang lebih tinggi di sektor formal, seperti manajer, eksekutif, atau profesional berkeahlian tinggi. Dengan akses yang lebih baik ke fasilitas kesehatan, pendidikan berkualitas, dan kesempatan untuk pengembangan diri, kelas menengah atas menikmati stabilitas ekonomi yang lebih besar dan memiliki kapasitas lebih untuk menghadapi perubahan ekonomi.
Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh kelas menengah dan bawah memiliki implikasi jangka panjang yang serius bagi stabilitas sosial dan ekonomi di Indonesia. Ketika sebagian besar penghasilan digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman, kemampuan untuk menabung, berinvestasi, dan membelanjakan uang untuk barang-barang non-primer menjadi sangat terbatas. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pendorong utama ekonomi nasional.
Selain itu, tekanan ekonomi yang berkelanjutan dapat memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia. Sementara kelompok atas mampu meningkatkan tabungan dan investasi mereka, kelas menengah dan bawah terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ketimpangan ini dapat menyebabkan peningkatan ketidakpuasan sosial dan ketidakstabilan politik jika tidak ditangani dengan kebijakan yang tepat.
Kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan tekanan yang signifikan akibat inflasi harga pangan. Kenaikan porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan dan minuman mencerminkan beban ekonomi yang semakin berat bagi kelas menengah dan bawah. Sementara itu, kelompok atas cenderung lebih tahan terhadap tekanan ini berkat pendapatan dari investasi.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kebijakan ekonomi yang holistik dan inklusif yang tidak hanya fokus pada stabilisasi harga bahan pokok tetapi juga pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tanpa intervensi yang efektif, tekanan ekonomi ini dapat memperburuk ketimpangan dan menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih besar di masa depan.