Dalam menyediakan akses internet hingga ke pengguna, berbagai infrastruktur telekomunikasi seperti Base Transceiver Station (BTS), fiber optik, dan satelit memainkan peran penting. Masing-masing memiliki keunggulan tersendiri yang membuat mereka esensial dalam sistem telekomunikasi global. Namun, munculnya layanan internet satelit seperti Starlink memicu perdebatan mengenai apakah satelit akan melengkapi atau bahkan mendisrupsi infrastruktur yang sudah ada.
Satelit, meskipun memiliki kemampuan jangkauan luas, tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran BTS dan sistem komunikasi terestrial lainnya. Secara teknis, sistem satelit tidak dapat menandingi kecepatan dan stabilitas yang ditawarkan oleh jaringan terestrial seperti fiber optik dan BTS. Starlink, sebagai contoh, beroperasi pada ketinggian 500-2000 km, yang dapat menyebabkan latency atau keterlambatan sinyal. Hal ini membuat jaringan terestrial tetap unggul dalam hal kecepatan dan responsivitas.
Masuknya Starlink ke Indonesia mengundang berbagai tanggapan, termasuk dari PT Telkom Indonesia. Ahmad Reza, SVP Corporate Communication dan Investor Relation Telkom, menegaskan bahwa layanan Starlink lebih tepat dipandang sebagai pelengkap daripada pengganti layanan yang sudah ada. Layanan B2C dari Starlink memiliki harga yang relatif mahal, dengan biaya langganan mulai dari Rp 750 ribu per bulan dan perangkat seharga Rp 7,8 juta. Ini membuatnya kurang kompetitif dibandingkan dengan fixed broadband dan seluler yang lebih terjangkau.
Namun, secara Business-to-Business (B2B), Starlink memiliki potensi besar. Layanan ini dapat mendukung transportasi atau backhauling antara tower di area terpencil yang tidak terjangkau oleh fiber optik atau microwave. Dengan demikian, Starlink bisa mempercepat pemerataan infrastruktur komunikasi dan informasi di wilayah-wilayah terpencil. Keberadaan Starlink dapat membantu mengatasi kendala geografis yang sulit ditembus oleh infrastruktur terestrial, sehingga memperluas akses informasi dan komunikasi bagi masyarakat di daerah-daerah tersebut.
Satelit dan BTS memiliki peran yang saling melengkapi dalam ekosistem telekomunikasi. Starlink, dengan segala keunggulannya, bukanlah ancaman yang akan mendisrupsi infrastruktur terestrial seperti BTS dan fiber optik. Sebaliknya, Starlink akan berfungsi sebagai pelengkap yang membantu memperluas jangkauan layanan internet ke daerah-daerah terpencil, mendukung pengembangan infrastruktur, dan mempercepat pemerataan akses informasi. Kombinasi berbagai infrastruktur ini akan memungkinkan penyediaan layanan telekomunikasi yang lebih komprehensif dan inklusif di seluruh Indonesia.
Starlink adalah layanan internet berbasis satelit yang dikembangkan oleh SpaceX, perusahaan milik Elon Musk. Sistem ini dirancang untuk menyediakan akses internet ke daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur terestrial seperti kabel dan BTS.
Berikut adalah penjelasan tentang bagaimana Starlink bekerja:
1. Konstelasi Satelit LEO
Starlink menggunakan konstelasi satelit di orbit rendah Bumi (Low Earth Orbit/LEO). Satelit-satelit ini ditempatkan pada ketinggian sekitar 500-2000 km di atas permukaan Bumi, yang jauh lebih rendah dibandingkan satelit geostasioner yang berada di ketinggian sekitar 35.000 km. Ketinggian rendah ini membantu mengurangi latency atau keterlambatan sinyal, sehingga memungkinkan koneksi internet yang lebih cepat dan responsif.
2. Jaringan Satelit
Satelit-satelit Starlink membentuk jaringan yang saling terhubung dan berkomunikasi satu sama lain menggunakan sinyal laser. Ini memungkinkan data untuk ditransmisikan dengan cepat di antara satelit sebelum diteruskan ke pengguna di Bumi. Setiap satelit dilengkapi dengan antena phased-array yang dapat mengarahkan sinyal secara dinamis untuk menjaga koneksi yang kuat dan stabil dengan stasiun di darat dan pengguna.
3. Terminal Pengguna (Dishy)
Pengguna Starlink perlu memasang terminal pengguna yang disebut “Dishy McFlatface,” sebuah antena parabola kecil yang dapat diinstal di atap rumah atau di area terbuka. Terminal ini secara otomatis mencari dan terhubung ke satelit Starlink terdekat. Dishy memiliki kemampuan untuk menyesuaikan arahannya secara otomatis untuk mempertahankan koneksi yang optimal dengan satelit yang bergerak.
4. Gateway dan Stasiun Bumi
Selain terminal pengguna, sistem Starlink juga menggunakan gateway atau stasiun bumi yang berfungsi sebagai penghubung antara jaringan internet global dan satelit. Data dari internet global dikirim ke gateway, yang kemudian meneruskannya ke satelit. Satelit tersebut lalu mengirimkan data ini ke terminal pengguna di Bumi, dan sebaliknya.
5. Proses Data
- Pengiriman Data dari Pengguna: Data dari perangkat pengguna (misalnya, komputer atau smartphone) dikirim ke terminal Dishy.
- Transmisi ke Satelit: Dishy mengirimkan data ini ke satelit Starlink terdekat.
- Transmisi Antar Satelit: Jika data perlu dikirim ke lokasi yang jauh, satelit-satelit dapat mentransfer data di antara mereka menggunakan sinyal laser.
- Transmisi ke Gateway: Satelit kemudian mengirimkan data ke gateway atau stasiun bumi terdekat.
- Pengiriman ke Internet Global: Gateway menghubungkan data tersebut ke jaringan internet global, yang kemudian meneruskannya ke server atau layanan yang diminta oleh pengguna.
6. Keunggulan dan Keterbatasan
- Keunggulan:
- Cakupan Global: Dapat menjangkau area terpencil dan rural yang sulit diakses oleh infrastruktur terestrial.
- Latency Rendah: Ketinggian LEO memungkinkan latency yang lebih rendah dibandingkan satelit geostasioner.
- Kecepatan Tinggi: Dapat memberikan kecepatan internet yang tinggi dengan bandwidth yang besar.
- Keterbatasan:
- Harga: Biaya perangkat dan langganan yang relatif tinggi.
- Latency: Meskipun rendah, latency tetap lebih tinggi dibandingkan fiber optik.
- Cuaca: Sinyal satelit dapat terganggu oleh kondisi cuaca buruk seperti hujan lebat atau badai.
Dengan sistem yang inovatif ini, Starlink bertujuan untuk menyediakan akses internet yang lebih luas dan lebih cepat, khususnya di daerah-daerah yang selama ini mengalami kesulitan mendapatkan koneksi internet yang memadai.