Asam di gunung garam di laut bertemu juga di belanga. Munculnya duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sungguh mengejutkan masyarakat politik. Basis konstituen kedua calon pemimpin nasional ini boleh dikata berseberangan secara diametral. Pembaca tahu sendirilah posisi kedua kubu dalam isu keislaman dan keindonesiaan. Toh, akhirnya mereka bersatu juga di pelaminan politik elektoral.
Daya kejut dari manuver yang diotaki Surya Paloh ini mengakibatkan turbulensi politik yang intens. Langkah tak terduga ini menyusul hasil survei beberapa lembaga terkait yang menempatkan Anies di posisi ketiga dalam elektabilitas berhadapan dengan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Elektabilitas Anies jauh di bawah kedua capres tersebut. Kubu Anies agaknya cukup rasional. Alih-alih menolak hasil survei mereka langsung mengambil langkah manuver akrobatik. Bisa difahami jika mereka perlu cara luarbiasa untuk membalikkan keadaan.
Kesepakatan politik itupun berjalan cepat. Saat PAN dan Golkar merapat ke poros Prabowo maka PKB punya alasan untuk berpindah ke lain hati. Cak Imin melihat bergabungnya PAN dan Golkar ke Koalisi Prabowo akan menurunkan daya tawar PKB. Apalagi Prabowo memberi sinyal dengan mengubah nama Koalisi dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) ke Koalisi Indonesia Maju. Dengan kata lain Cak Imin tidak bersedia dimadu oleh Prabowo.
Tidak ada persekutuan dan perseteruan politik yang abadi. Kepentingan yang melandasi kesepakatan politik. Maka istilah kawin kontrak lebih pas menggambarkan situasi saat ini. Asal kepentingan para pihak terwakili. Tentu ini sehat dilihat dari sudut pandang politik sebagai pilihan rasional. Politic as rational choice. Meski dilihat dari sisi para loyalis calon presiden ini bakal membuat hati merana. Siapa bilang dalam politik nggak boleh baper.
Sukarela atau dipaksa oleh hasil survei. Dua kemungkinan itu dapat menjelaskan kejutan politik belakangan ini. Para elit sudah semakin sadar bahwa secara empiris popularitas dan elektabilitas hasil survei sangat menentukan keputusan politik. Meski keputusan diambil cepat tidak bisa dibilang sebagai kawin paksa. Kalaupun Partai Demokrat mengklaim dipaksa toh mereka bisa menolak. Anies, Cak Imin, dan PKB sukarela menerima pinangan Surya Paloh. PKS ibarat calon pengantin ingin naik pelaminan dengan elegan dan tidak terkesan murahan masih menunggu hasil musyawarah Majelis Syuro.
Dari semua drama ini kita melihat elit menyampaikan pesan bahwa atas nama persatuan komposisi bacapres-bacawapres tidak boleh mencerminkan keterbelahan politik. Meski elit harus sadar bahwa mereka secara langsung maupun tidak langsung yang memiliki andil besar dalam keterbelahan politik. Lalu seenaknya akan menyalahkan rakyat yang terlanjur berkostum cebong dan kampret?
Secara teknis gejala bercampurnya minyak dan air dalam sebuah menu baru berlabel persatuan bangsa ini diakibatkan oleh ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 20%. Namun sejatinya kesadaran masyarakat politik untuk biasa-biasa saja dalam menuruti omongan para elit politik yang menjadi kuncinya.
Bersatu kita maju. Bercerai kita cari pasangan lagi!